Sunday, 19 May 2019

Makna Simbol Sembadra dan Kunti pada Cerpen Sri Sumarah

Standard

Makna Simbol Sembadra dan Kunti pada Cerpen Sri Sumarah

One Khusnawati Yuanda
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta


Pewayangan merupakan salah satu seni tradisional Jawa yang bahasannya dekat dengan kehidupan masyarakat Jawa. Maka dari itu, untuk melihat bagaimana sebenarnya kebudayaan dan masyarakat Jawa bisa dilihat dari cerita dalam pewayangan.
Menurut Nurgiyantoro, terdapat beberapa macam sikap , penerimaan, dan perlakuan terhadap cerita wayang, yaitu (1) wayang disikapi sebagai budaya yang bernilai tinggi dan sakral, (2) wayang disikapi secara main-main dan didesakralkan (parodial), (3) nilai budaya wayang disikapi secara ekletik, dan (4) wayang disikapi secara apa adanya, dalam arti tidak disakralkan atau sebaliknya didesakralkan.
Dalam sebuah pewayangan, tidak hanya sekedar cerita-cerita yang hanya bisa kita nikmati sebagai hiburan. Cerita, tokoh, dan nilai-nilai wayang secara sadar dijadikan sumber dan model pendidikan atau penyampaian pesan. Cerita dalam pewayangan biasanya menceritakan tokoh orang baik dan orang yang jahat. Disitulah kita dapat belajar bagaimana kita harus meneladani sifat-sifat dari seorang tokoh yang mempunyai etika yang baik (orang baik) dan tokoh dengan perilaku etika yang buruk (orang yang jahat ).
Etika merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupannya (Suseno, 1988: 6). Etika jawa mengemukakan tuntutan-tuntutannya berdasarkan bahwa kedudukan dan kegiatan setiap manusia dalam dunia telah ditentukan oleh takdir dan manusia dengan segala kehendaknya tidak dapat mengubah apa yang sudah ditakdirkannya itu. Pada lain pihak, apabila manusia dengan kelakuannya mengganggu keselarasan dalam masyarakat dan alam, maka hal tersebut akan membawa ia pada bahaya bagi yang bertindak itu sendiri dan bagi seluruh masyarakat. Etika Jawa menuntut seseorang untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan keselarasan masyarakat; berdasarkan suara hati maupun tanggung jawab moral janganlah membangkang, karena secara tidak langsung ia juga akan memasukkan masyarakat ke dalam bahaya.
Dalam beretika, perempuan Jawa terkenal dengan sifatnya yang lemah lembut, penurut, apa adanya, setia, dan berbakti pada suami. Karakter perempuan Jawa juga suka mengalah dan menghindari adanya konflik.  Sifat tersebut sama seperti salah satu tokoh dalam cerpen Sri Sumarah yaitu tokoh perempuan Jawa yang bernama Sri Sumarah.
Beberapa cerpen atau novel terkadang membangun sifat tokoh dalam karya tersebut mirip dengan tokoh dalam pewayangan. Karya Umar Kayam pada cerpen Sri Sumarah, perwatakan Sri Sumarah ditransformasikan dari perwatakan tokoh wayang. Tokoh wayang yang mirip dengan Sri Sumarah dalam cerpen Sri Sumarah ini adalah Sembadra dan Kunti. Dalam pewayangan, Sembadra merupakan istri Arjuna. Sedangkan Kunti, Kunti merupakan ibu para Pandawa. Kemunculan simbol Sembadra dan Kunti dalam cerpen Sri Sumarah membuat saya tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai makna apa yang tersirat dalam dua simbol tersebut.
Umar Kayam terlihat menunjukkan pemahamannya tentang apa yang menjadi keyakinan masyarakat Jawa. Umar Kayam bermaksud melakukan interpretasi dan sekaligus konfirmasi terhadap kehidupan masyarakat Jawa. Ia mempunyai maksud untuk menujjukkan sikapnya bahwa ada perbenturan nilai-nilai wayang dengan nilai-nilai aktual-modern dalam kehidupan yang mencerminkan proses kebudayaan. Pada golonga tua nilai-nilai wayang masih menjadi kebenaran sebagai satu-satunya acuan hidup, tetapi tidak lagi terjadi pada golongan yang lebih muda kemudian.

Sri Sumarah
Tokoh utama dalam cerita ini adalah Sri Sumarah. Sri yang artinya “menyerah” atau yang “terserah”. Ia merupakan seorang perempuan Jawa yang tinggal dan diasuh oleh neneknya. Pada usia 18 tahun ia menikah dengan Sumarto atau Martokusumo, putra seorang pensiunan mantri candu di kota kabupaten N yang sudah tamat Sekolah Guru dan sekarang menjadi guru di kota kelahiran Sri.
Akan tetapi, setelah 12 tahun menikah, Pak Marto meninggal karena penyakit eltor.
 Tokoh lain yang terlibat yaitu Tun, Ginuk, dan Yos. Tun merupakan anak Sri Sumarah. Tun terpaksa menikah muda dengan Yos karena hamil di luar nikah. Mereka berdua sangat aktif dalam organisasi. Akan tetapi, ternyata oraganisasi yang mereka ikuti itu adalah organisasi yang berbau PKI. Yos adalah anggota CGMI dan Tun adalah anggota Gerwani. Suatu ketika Yos ditangkap dan dibunuh karena terlibat dalam organisasi CGMI. Pada saat itu Tun selamat tetapi ia harus masuk bui. Ginuk yang merupakan anak Tun dan Yos terpaksa harus tinggal bersama dengan neneknya yaitu Sri Sumarah. Sri Sumarah hidup berdua dengan Ginuk. Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, Sri Sumarah bekerja sebagai tukang pijat. Keputusannya untuk menjadi seorang tukang pijit berawal saat ia ke luar rumah untuk mencari wisik. Ia bermimpi disuruh memijit Mas Marto, suaminya yang sudah meninggal. Hal tersebut diartikannya sebagai wisik. Dari situlah ia bertekad menjadi tukang pijit. Awalnya ia hanya menjadi tukang pijit seorang anak tetangganya yang kakinya terkilir tetapi pada akhirnya ia menjadi tukang pijit yang terkenal sebagai pemijit yang ampuh.
Julukan Sri Sumarah sebagai pemijit yang ampuh membuat banyak pelanggan berdatangan. Ia juga sering dipanggil ke sebuah hotel untuk memijit langganannya. Pada suatu ketika, ada seorang anak muda dari Jakarta yang mengundangnya ke sebuah hotel. Anak muda itu minta dipijit sampai tertidur. Sri Sumarah pada saat itu tidak menyangka apabila anak muda itu akan melakukan tindakan yang tidak biasanya. Setelah Sri Sumarah selesai memijit, anak muda itu bangun dan menciumi Sri Sumarah. Sri tidak dapat menghindar dan menerima saja. Malam berikutnya ia diminta datang kembali untuk memijit anak muda itu. Kemudian, tiba-tiba saat ia memijit anak muda itu, anak muda itu bangun dan memeluknya. Sri merasakan apa yang ia rasakan dulu saat suaminya pertama kali menggaulinya dulu. Pada saat itu, Sri tidak berdaya dan berusaha menolak pelukan itu.

Simbol Sembadra dan Kunti
Karya sastra yan berjudul Sri Sumarah disebut sebagai cerita pendek yang panjang (long short-story). Cerpen ini dibuat untuk menggambarkan waktu pada masa sekitar tahun 40-an sampai dengan pasca pemberontakan G-30-S/PKI.
Bu, keadaan gawat. Di Jakarta terjadi perebutan kekuasaan.
Apa itu, nduk?
Perang. Jenderal-jenderal ambil alih kekuasaan. Kita, kaum kiri, akan ditangkali dan dibunuh. Kami akan menyingkir dulu. Ibu di sini saja bersama Ginuk. Ini sedikit uang dan perhiasan, pegang saja buat berlanja sehari-hari...
...
...datang Pak RT yang diikuti beberapa orang tentara.
“Bu, Yos dan Tun ke mana, Bu?”
“Enggak tahu. Pergi sudah beberapa hari.”
“Ibu tahu enggak, apa yang terjadi? Anak Sampeyan dan suaminya itu ikut berontak.”

Selama hidupnya, Sri Sumarah selalu saja banyak mendapat cobaan. Mulai dari ditinggal oleh suaminya, Tun hamil diluar nikah, Tun masuk bui karena keterlibatannya dalam PKI, dan pada saat Tun masuk Bui, Sri harus merawat dan membiayai kehidupannya beserta Ginuk.
Sri Sumarah, walaupun sudah tua dan mempunyai anak akan tetapi masih terlihat sebagai seorang perempuan yang cantik bertubuh sintal dan langsing. Ia mempunyai perilaku yang hormat dan berbakti pada suami. Ia pandai merawat diri , suka tembang  dan menembang tembang-tembang Jawa
... Badannya tetap segar, sintal, dan langsing karena Sri tidak pernah alpa meminum jamu-jamunya. Badannya, meskipun tidak mengenal Eau de Cologne 4711, selalu mengeluarkan kesegaran bau embsun desa, karena dia juga tak pernah alpa makan kencur dan kunyit mentah. Dan akan keampuhan gerayangan pijitnya serta kemerduan tembangnya, suaminya yang pendiam dan banyak menahan emosi yang tidak perlu itu, sekali-sekali tidak malu-malu mengeluarkan emosinya yang tidak perlu itu
           
Gambaran fisik dan perilaku seorang perempuan bernama Sri ini sangat mirip dengan tokoh pewayangan yaitu Sembadra. Sembadra yang merupakan Istri Arjuna juga memiliki fisik yang cantik, hitam manis, dan anggun. Ia juga sangat setia pada suami, tidak cemburu dan marah ketika sering ditinggal pergi dan kawin lagi oleh Arjuna. Sembadra juga selalu bersikap baik kepada para istri Arjuna. Ia juga sangat menyayangi anaknya, yaitu Abimanyu dan melakukan apapun demi anaknya.
Tokoh Sri Sumarah mempunyai perilaku yang amat mencintai anak dan membesarkan anak dan cucu dengan penuh tanggung jawab. Ia rela melakukan apapun demi anaknya. Terlihat ketika ia menyekolahkan Tun ke kota, tetap sayang walaupun Tun hamil di luar nikah dan menyelenggarakan pesta perkawinan dengan selayaknya sampai-sampai ia menggadaikan sawah dan karena tidak dapat menebusnya, ia rela kehilangan sawahnya tersebut.
“Jadi, kau sekarang hamil, nduk?”
“Dua Bulan.”
Dan pada waktu Tun mulai menangis lagi, Sri sambil terus mengelus kepala anaknya mengatakan, “Cup, nduk, cup. Ibu akan bereskan semuanya.”
Tiba-tiba dia merasa mampu mengangkat beban yang selama ini dirasanya menindih dadanya. Dia merasa beban itu akan dia bawa berjalan dan akan diletakannya baik-baik di satu tempat yang pantas dan apik.
...
Perkawinan Tun dilangsungkan dalam segala kesemarakan. Wayang kulit dengan dalang yang terbaik di kabupaten itu dipergelarkan semalam suntuk. Untuk jamuan makannya, Sri memesan pada Nyonya Lim, langganan Ibu Bupati, makanan kecil yang sangat terpilih yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam pesta-pesta kecamatan.
...
Sri, perempuan yang selalu dididik untuk jujur dan sumarah itu, mengatakan dengan sebenarnya bahwa dia memang tidak ada harapan lagi untuk bisa menyelesaikan utangnya, kecuali harus menyerahkan sawah yang digadaikan kepadanya.
“Jadi, sudah, Bu Guru Marto?”
“Ya, sudah, Pak.”
“Ikhlas? Sah?”
“Ikhlas. Sah.”

Selain digambarkan sebagai seorang Sembadra, Sri juga digambarkan seorang Kunti dalam tokoh pewayangan. Kunti dalam tokoh pewayangan adalah seorang ibu para Pandawa. Ia mempunyai perilaku yang suka berguru. Hal ini sama seperti perilaku Sri Sumarah pada neneknya. Ia berguru kepada neneknya tentang bagaimana menjadi perempuan Jawa tulen.
Begitulah Sri mendapatkan ilmunya yang baru. Ilmu kesempurnaan berumah tangga. Menurut embah Sri, ajaran itu semua bukanlah untuk apa-apa, kecuali untuk “memegang” laki-laki.
“Kalau kita turuti mereka, laki-laki akan lebih lagi menuruti kita, nduk...”
Dan Sri  Sumarah yang dengan tekun dan patuh mengikuti persiapan embahnya, pada hari perkawinannya telah menguawai semua perlengkapan itu. Sri Sumarah sudah mumpuni, kata orang Jawa ...
Selanjutnya, perilaku Sri yang mirip dengan Kunti adalah ketika Sri tidak hanya merawat anaknya tetapi juga cucunya, Ginuk. Ia merawat dengan ikhlas, penuh kasih sayang, dan tanggung jawab. Pada bagian ini perilaku itu mirip dengan Kunti pada saat ia merawat dua anak tirinya dengan tulus ikhlas, yaitu Nakula dan Sadewa. Dewi Kunti mengasuh dan membesarkan putra-putranya yang telah ditinggal mati oleh suaminya, Pandu.

Makna Simbol Sembadra dan Kunti
            Makna simbol Sembadra pada cerpen Sri Sumarah diartikan sebagai figur seorang istri Jawa yang berbakti kepada suami. Seorang istri yang menerima apa adanya berbagai cobaan hidup. Dalam cerpen tersebut, seperti yang dikatakan oleh nenek dari Sri Sumarah, cobaan hidup seorang perempuan Jawa itu ada dua, yang pertama ditinggal suami meninggal dan yang kedua suami menikah lagi. Akan tetapi, cobaan yang menimpa Sri Sumarah yaitu ditinggal suami karena meninggal. Cobaan yang kedua hampir saja terjadi ketika Pak Martokusumo dilamar oleh Pak Carik agar Pak Martokusuma mau menikah dengan anaknya. Pada saat itu Pak Martokusumo menolak, dan pernikahan tersebut tidak terjadi.
            Makna simbol Kunti pada cerpen Sri Sumarah terlihat pada saat Tun hamil diluar nikah, kemudian Sri berusaha untuk menjadi seorang ibu yang rela berkorban demi anaknya agar tidak menanggung malu dan membuat anaknya senang, seperti langsung menikahkan anaknya dan menggelar pesta yang cukup layak. Namun, karena pestanya tersebut mengeluarkan biaya yang tidak murah,ia menggadaikan sawah dan ia rela untuk melepas sawahnya kepada Pak Mohammad untuk mengganti utang-utangnya. Terdapat satu bagian lagi yang menggambarkan kemiripan tokoh Sri dengan Kunti yaitu saat Sri harus merawat cucunya yang bernama Ginuk karena pada saat itu Tun sedang berada di penjara.
            Pada cerpen Sri Sumarah ini dapat diambil kesimpulan bahwa cerpen ini mengisahkan tentang sifat tokoh dalam pewayangan yang mirip dengan perilaku orang Jawa yang dapat menjadi teladan. Hal tersebut yaitu seperti Dewi Kunti, kewajiban dan pengorbanan seorang nenek terhadap cucu maupun ibu terhadap anak dan cucu adalah sebuah pengorbanan yang mulia. Seperti Sembadra, yaitu ketika seorang Sri dipersiapkan oleh neneknya menjadi wanita dan istri yang sempurna.

Daftar Pustaka
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kayam, Umar. -. Sri Sumarah. Jakarta: Pustaka Jaya.
Magnis-Suseno, Franz. 1988. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia.

   

           

0 comments:

Post a Comment