Makna
Simbol Sembadra dan Kunti pada Cerpen Sri Sumarah
One Khusnawati Yuanda
Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia,
Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Yogyakarta
Pewayangan merupakan salah satu seni tradisional
Jawa yang bahasannya dekat dengan kehidupan masyarakat Jawa. Maka dari itu,
untuk melihat bagaimana sebenarnya kebudayaan dan masyarakat Jawa bisa dilihat
dari cerita dalam pewayangan.
Menurut Nurgiyantoro, terdapat beberapa macam sikap
, penerimaan, dan perlakuan terhadap cerita wayang, yaitu (1) wayang disikapi
sebagai budaya yang bernilai tinggi dan sakral, (2) wayang disikapi secara
main-main dan didesakralkan (parodial), (3) nilai budaya wayang disikapi secara
ekletik, dan (4) wayang disikapi secara apa adanya, dalam arti tidak
disakralkan atau sebaliknya didesakralkan.
Dalam sebuah pewayangan, tidak hanya sekedar
cerita-cerita yang hanya bisa kita nikmati sebagai hiburan. Cerita, tokoh, dan
nilai-nilai wayang secara sadar dijadikan sumber dan model pendidikan atau
penyampaian pesan. Cerita dalam pewayangan biasanya menceritakan tokoh orang
baik dan orang yang jahat. Disitulah kita dapat belajar bagaimana kita harus
meneladani sifat-sifat dari seorang tokoh yang mempunyai etika yang baik (orang
baik) dan tokoh dengan perilaku etika yang buruk (orang yang jahat ).
Etika merupakan keseluruhan norma dan penilaian yang
dipergunakan oleh masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana
manusia seharusnya menjalankan kehidupannya (Suseno, 1988: 6). Etika jawa
mengemukakan tuntutan-tuntutannya berdasarkan bahwa kedudukan dan kegiatan setiap
manusia dalam dunia telah ditentukan oleh takdir dan manusia dengan segala
kehendaknya tidak dapat mengubah apa yang sudah ditakdirkannya itu. Pada lain
pihak, apabila manusia dengan kelakuannya mengganggu keselarasan dalam
masyarakat dan alam, maka hal tersebut akan membawa ia pada bahaya bagi yang
bertindak itu sendiri dan bagi seluruh masyarakat. Etika Jawa menuntut
seseorang untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan keselarasan
masyarakat; berdasarkan suara hati maupun tanggung jawab moral janganlah
membangkang, karena secara tidak langsung ia juga akan memasukkan masyarakat ke
dalam bahaya.
Dalam beretika, perempuan Jawa terkenal dengan
sifatnya yang lemah lembut, penurut, apa adanya, setia, dan berbakti pada
suami. Karakter perempuan Jawa juga suka mengalah dan menghindari adanya
konflik. Sifat tersebut sama seperti
salah satu tokoh dalam cerpen Sri Sumarah
yaitu tokoh perempuan Jawa yang bernama Sri Sumarah.
Beberapa cerpen atau novel terkadang membangun sifat
tokoh dalam karya tersebut mirip dengan tokoh dalam pewayangan. Karya Umar
Kayam pada cerpen Sri Sumarah,
perwatakan Sri Sumarah ditransformasikan dari perwatakan tokoh wayang. Tokoh
wayang yang mirip dengan Sri Sumarah dalam cerpen Sri Sumarah ini adalah
Sembadra dan Kunti. Dalam pewayangan, Sembadra merupakan istri Arjuna.
Sedangkan Kunti, Kunti merupakan ibu para Pandawa. Kemunculan simbol Sembadra
dan Kunti dalam cerpen Sri Sumarah membuat
saya tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai makna apa yang tersirat dalam
dua simbol tersebut.
Umar Kayam terlihat menunjukkan pemahamannya tentang
apa yang menjadi keyakinan masyarakat Jawa. Umar Kayam bermaksud melakukan
interpretasi dan sekaligus konfirmasi terhadap kehidupan masyarakat Jawa. Ia
mempunyai maksud untuk menujjukkan sikapnya bahwa ada perbenturan nilai-nilai
wayang dengan nilai-nilai aktual-modern dalam kehidupan yang mencerminkan
proses kebudayaan. Pada golonga tua nilai-nilai wayang masih menjadi kebenaran
sebagai satu-satunya acuan hidup, tetapi tidak lagi terjadi pada golongan yang
lebih muda kemudian.
Sri
Sumarah
Tokoh utama dalam
cerita ini adalah Sri Sumarah. Sri yang
artinya “menyerah” atau yang “terserah”. Ia merupakan seorang perempuan Jawa
yang tinggal dan diasuh oleh neneknya. Pada usia 18 tahun ia menikah dengan
Sumarto atau Martokusumo, putra seorang pensiunan mantri candu di kota
kabupaten N yang sudah tamat Sekolah Guru dan sekarang menjadi guru di kota
kelahiran Sri.
Akan tetapi, setelah 12 tahun menikah,
Pak Marto meninggal karena penyakit eltor.
Tokoh lain yang terlibat yaitu Tun, Ginuk, dan
Yos. Tun merupakan anak Sri Sumarah. Tun terpaksa menikah muda dengan Yos karena
hamil di luar nikah. Mereka berdua sangat aktif dalam organisasi. Akan tetapi,
ternyata oraganisasi yang mereka ikuti itu adalah organisasi yang berbau PKI.
Yos adalah anggota CGMI dan Tun adalah anggota Gerwani. Suatu ketika Yos
ditangkap dan dibunuh karena terlibat dalam organisasi CGMI. Pada saat itu Tun
selamat tetapi ia harus masuk bui. Ginuk yang merupakan anak Tun dan Yos
terpaksa harus tinggal bersama dengan neneknya yaitu Sri Sumarah. Sri Sumarah
hidup berdua dengan Ginuk. Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, Sri Sumarah
bekerja sebagai tukang pijat. Keputusannya untuk menjadi seorang tukang pijit
berawal saat ia ke luar rumah untuk mencari wisik.
Ia bermimpi disuruh memijit Mas Marto, suaminya yang sudah meninggal. Hal
tersebut diartikannya sebagai wisik. Dari
situlah ia bertekad menjadi tukang pijit. Awalnya ia hanya menjadi tukang pijit
seorang anak tetangganya yang kakinya terkilir tetapi pada akhirnya ia menjadi
tukang pijit yang terkenal sebagai pemijit yang ampuh.
Julukan Sri Sumarah
sebagai pemijit yang ampuh membuat banyak pelanggan berdatangan. Ia juga sering
dipanggil ke sebuah hotel untuk memijit langganannya. Pada suatu ketika, ada
seorang anak muda dari Jakarta yang mengundangnya ke sebuah hotel. Anak muda
itu minta dipijit sampai tertidur. Sri Sumarah pada saat itu tidak menyangka
apabila anak muda itu akan melakukan tindakan yang tidak biasanya. Setelah Sri
Sumarah selesai memijit, anak muda itu bangun dan menciumi Sri Sumarah. Sri
tidak dapat menghindar dan menerima saja. Malam berikutnya ia diminta datang
kembali untuk memijit anak muda itu. Kemudian, tiba-tiba saat ia memijit anak
muda itu, anak muda itu bangun dan memeluknya. Sri merasakan apa yang ia
rasakan dulu saat suaminya pertama kali menggaulinya dulu. Pada saat itu, Sri
tidak berdaya dan berusaha menolak pelukan itu.
Simbol
Sembadra dan Kunti
Karya sastra yan
berjudul Sri Sumarah disebut sebagai
cerita pendek yang panjang (long
short-story). Cerpen ini dibuat untuk menggambarkan waktu pada masa sekitar
tahun 40-an sampai dengan pasca pemberontakan G-30-S/PKI.
“Bu,
keadaan gawat. Di Jakarta terjadi perebutan kekuasaan.”
“Apa
itu, nduk?”
“Perang. Jenderal-jenderal ambil alih
kekuasaan. Kita, kaum kiri, akan ditangkali dan dibunuh. Kami akan menyingkir
dulu. Ibu di sini saja bersama Ginuk. Ini sedikit uang dan perhiasan, pegang
saja buat berlanja sehari-hari...”
...
...datang
Pak RT yang diikuti beberapa orang tentara.
“Bu,
Yos dan Tun ke mana, Bu?”
“Enggak
tahu. Pergi sudah beberapa hari.”
“Ibu tahu enggak, apa yang terjadi? Anak Sampeyan
dan suaminya itu ikut berontak.”
Selama hidupnya, Sri
Sumarah selalu saja banyak mendapat cobaan. Mulai dari ditinggal oleh suaminya,
Tun hamil diluar nikah, Tun masuk bui karena keterlibatannya dalam PKI, dan
pada saat Tun masuk Bui, Sri harus merawat dan membiayai kehidupannya beserta
Ginuk.
Sri Sumarah, walaupun
sudah tua dan mempunyai anak akan tetapi masih terlihat sebagai seorang
perempuan yang cantik bertubuh sintal dan langsing. Ia mempunyai perilaku yang hormat
dan berbakti pada suami. Ia pandai merawat diri , suka tembang dan menembang tembang-tembang Jawa
“... Badannya tetap segar, sintal, dan
langsing karena Sri tidak pernah alpa meminum jamu-jamunya. Badannya, meskipun
tidak mengenal Eau de Cologne 4711, selalu mengeluarkan kesegaran bau embsun
desa, karena dia juga tak pernah alpa makan kencur dan kunyit mentah. Dan akan
keampuhan gerayangan pijitnya serta kemerduan tembangnya, suaminya yang pendiam
dan banyak menahan emosi yang tidak perlu itu, sekali-sekali tidak malu-malu
mengeluarkan emosinya yang tidak perlu itu”
Gambaran fisik dan
perilaku seorang perempuan bernama Sri ini sangat mirip dengan tokoh pewayangan
yaitu Sembadra. Sembadra yang merupakan Istri Arjuna juga memiliki fisik yang
cantik, hitam manis, dan anggun. Ia juga sangat setia pada suami, tidak cemburu
dan marah ketika sering ditinggal pergi dan kawin lagi oleh Arjuna. Sembadra
juga selalu bersikap baik kepada para istri Arjuna. Ia juga sangat menyayangi
anaknya, yaitu Abimanyu dan melakukan apapun demi anaknya.
Tokoh Sri Sumarah
mempunyai perilaku yang amat mencintai anak dan membesarkan anak dan cucu
dengan penuh tanggung jawab. Ia rela melakukan apapun demi anaknya. Terlihat
ketika ia menyekolahkan Tun ke kota, tetap sayang walaupun Tun hamil di luar
nikah dan menyelenggarakan pesta perkawinan dengan selayaknya sampai-sampai ia
menggadaikan sawah dan karena tidak dapat menebusnya, ia rela kehilangan
sawahnya tersebut.
“Jadi,
kau sekarang hamil, nduk?”
“Dua
Bulan.”
Dan pada waktu Tun mulai menangis
lagi, Sri sambil terus mengelus kepala anaknya mengatakan, “Cup, nduk, cup. Ibu
akan bereskan semuanya.”
Tiba-tiba dia merasa mampu
mengangkat beban yang selama ini dirasanya menindih dadanya. Dia merasa beban
itu akan dia bawa berjalan dan akan diletakannya baik-baik di satu tempat yang
pantas dan apik.
...
Perkawinan Tun dilangsungkan dalam
segala kesemarakan. Wayang kulit dengan dalang yang terbaik di kabupaten itu dipergelarkan
semalam suntuk. Untuk jamuan makannya, Sri memesan pada Nyonya Lim, langganan
Ibu Bupati, makanan kecil yang sangat terpilih yang sebelumnya tidak pernah
dikenal dalam pesta-pesta kecamatan.
...
Sri, perempuan yang selalu dididik
untuk jujur dan sumarah itu, mengatakan dengan sebenarnya bahwa dia memang
tidak ada harapan lagi untuk bisa menyelesaikan utangnya, kecuali harus
menyerahkan sawah yang digadaikan kepadanya.
“Jadi, sudah, Bu Guru Marto?”
“Ya, sudah, Pak.”
“Ikhlas? Sah?”
“Ikhlas. Sah.”
Selain digambarkan
sebagai seorang Sembadra, Sri juga digambarkan seorang Kunti dalam tokoh
pewayangan. Kunti dalam tokoh pewayangan adalah seorang ibu para Pandawa. Ia
mempunyai perilaku yang suka berguru. Hal ini sama seperti perilaku Sri Sumarah
pada neneknya. Ia berguru kepada neneknya tentang bagaimana menjadi perempuan
Jawa tulen.
Begitulah
Sri mendapatkan ilmunya yang baru. Ilmu kesempurnaan berumah tangga. Menurut
embah Sri, ajaran itu semua bukanlah untuk apa-apa, kecuali untuk “memegang”
laki-laki.
“Kalau
kita turuti mereka, laki-laki akan lebih lagi menuruti kita, nduk...”
Dan
Sri Sumarah yang dengan tekun dan patuh
mengikuti persiapan embahnya, pada hari perkawinannya telah menguawai semua
perlengkapan itu. Sri Sumarah sudah mumpuni, kata orang Jawa ...
Selanjutnya, perilaku
Sri yang mirip dengan Kunti adalah ketika Sri tidak hanya merawat anaknya
tetapi juga cucunya, Ginuk. Ia merawat dengan ikhlas, penuh kasih sayang, dan
tanggung jawab. Pada bagian ini perilaku itu mirip dengan Kunti pada saat ia
merawat dua anak tirinya dengan tulus ikhlas, yaitu Nakula dan Sadewa. Dewi
Kunti mengasuh dan membesarkan putra-putranya yang telah ditinggal mati oleh
suaminya, Pandu.
Makna
Simbol Sembadra dan Kunti
Makna
simbol Sembadra pada cerpen Sri Sumarah diartikan sebagai figur seorang istri
Jawa yang berbakti kepada suami. Seorang istri yang menerima apa adanya
berbagai cobaan hidup. Dalam cerpen tersebut, seperti yang dikatakan oleh nenek
dari Sri Sumarah, cobaan hidup seorang perempuan Jawa itu ada dua, yang pertama
ditinggal suami meninggal dan yang kedua suami menikah lagi. Akan tetapi,
cobaan yang menimpa Sri Sumarah yaitu ditinggal suami karena meninggal. Cobaan
yang kedua hampir saja terjadi ketika Pak Martokusumo dilamar oleh Pak Carik
agar Pak Martokusuma mau menikah dengan anaknya. Pada saat itu Pak Martokusumo
menolak, dan pernikahan tersebut tidak terjadi.
Makna
simbol Kunti pada cerpen Sri Sumarah terlihat pada saat Tun hamil diluar nikah,
kemudian Sri berusaha untuk menjadi seorang ibu yang rela berkorban demi
anaknya agar tidak menanggung malu dan membuat anaknya senang, seperti langsung
menikahkan anaknya dan menggelar pesta yang cukup layak. Namun, karena pestanya
tersebut mengeluarkan biaya yang tidak murah,ia menggadaikan sawah dan ia rela
untuk melepas sawahnya kepada Pak Mohammad untuk mengganti utang-utangnya.
Terdapat satu bagian lagi yang menggambarkan kemiripan tokoh Sri dengan Kunti
yaitu saat Sri harus merawat cucunya yang bernama Ginuk karena pada saat itu
Tun sedang berada di penjara.
Pada
cerpen Sri Sumarah ini dapat diambil kesimpulan bahwa cerpen ini mengisahkan
tentang sifat tokoh dalam pewayangan yang mirip dengan perilaku orang Jawa yang
dapat menjadi teladan. Hal tersebut yaitu seperti Dewi Kunti, kewajiban dan
pengorbanan seorang nenek terhadap cucu maupun ibu terhadap anak dan cucu
adalah sebuah pengorbanan yang mulia. Seperti Sembadra, yaitu ketika seorang
Sri dipersiapkan oleh neneknya menjadi wanita dan istri yang sempurna.
Daftar
Pustaka
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Transformasi Unsur Pewayangan dalam Fiksi
Indonesia. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Kayam, Umar. -. Sri Sumarah. Jakarta: Pustaka Jaya.
Magnis-Suseno, Franz. 1988. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia.
0 comments:
Post a Comment