Pertemuan Terakhir
Aku menangis di samping tubuh bapak
yang sedikit demi sedikit telah memucat. Leher keriput yang tadinya masih dapat
kulihat getaran urat nadinya, kini tak menunjukan gerakan apapun. Tangan itu didekapkan di atas dada. Lagi - lagi saat aku memegang tangannya untuk terakhir
kalinya, masih hangat. Rasanya aku masih tak percaya. Iyakah ? Bapak telah
tiada ?
Seseorang memintaku untuk menyudahi
tangisanku. Tak baik katanya. Tapi tetap saja aku menangis semauku. Orang
tersebut kemudian mengambil kain jarit.
Menyelimutkan kain itu dari ujung kaki sampai ke kepala. Aku duduk pada sebuah
kursi. Memandangi tubuhnya. Aku ingin melihat wajahnya sekali lagi. Tapi aku
takut. Takut tidak kuat menahan tangis.
Bapak telah tiada. Tidak ada lagi
yang meneleponku, menanyakan keberadaanku, dan memintaku untuk segera pulang
karena hari telah malam. Seorang yang keras, tegas, berambisi, egois, orang
lain terkadang dianggap salah dan diri sendiri yang dianggap benar. Aku pikir,
sifat bapak seperti itu. Bapak mudah sekali marah bila kemauannya tidak
dituruti dan bila yang dibicarakan sering tak dihargai. Apa yang diminta harus
ada saat itu juga. Terkadang aku kesal, setiap bapak selalu memarahiku karena hal
sepele. Membuat teh misalnya. Bapak selalu tidak mau minum teh dengan air
termos. Air yang digunakan selalu air yang baru saja dididihkan. Satu teh celup
untuk satu gelas. Dan air itu diisi sampai penuh hampir mendekati bibir gelas.
Kemudian ditutup dengan tutup gelas, dibawahnya diberi cawan kecil sebagai
alas.
Ketika bapak telah tiada, aku baru
saja sadar. Di balik sifat itu semua, aku meyakini bahwa bapak punya satu
hal yang terkadang aku lupa. Sosok orang yang bertanggung jawab dan penyayang
pada keluarga. Setelah aku tahu, perhatiannya terkadang melebihi ibu. Tapi,
jika sudah marah, emosi itu akan meluap membuat wajahnya memerah. Walaupun
begitu, bapak tak pernah main tangan. Menampar, memukul, ataupun melempar benda
keras padaku atau ibuku. Bapak hanya saja tidak bisa menahan emosi yang ada.
Mungkin terlalu banyak beban berat yang ia tanggung sendiri.
Mobil itu
datang bersamaan dengan datangnya mobil ambulan yang mengantarkan bapak pulang
seusai cuci darah. Di dalam mobil itu ada Bulik Tutik, adik bapak nomor satu
beserta suami dan anaknya. Kemudian, ada Bulik Neni, adik bungsu bapak. Suami
Bulik Tutik mencoba membantu Pak Mamat, sopir ambulan untuk mengangkat tubuh
bapak keluar dari mobil ambulan menuju kamar. Bulik Tutik beserta anak –
anaknya mengikuti dibelakang dan masuk menuju kamar.
Bulik Neni
hanya menunggu diluar dengan anaknya yang baru berumur lima tahun itu. Tadinya
seperti ingin mendekat , membantu memapah atau mengangkat tubuh kakaknya. Ia
menengok dari luar. Hanya menengok saja. Karena aku tahu, dengannya bagaimana
kakaknya akan bersikap. Sapaan dari keduanya tak pernah muncul. Semua bisu. Aku
merasa dingin dan kaku bila ada diantara mereka saat mereka bertemu. Hal itu
terjadi semenjak sepuluh tahun yang lalu.
Beberapa
waktu yang lalu, Bulik Neni mengajakku berkunjung ke rumah Bulik Tutik di Kota
K , Jawa Tengah. Sudah lama kami tidak bertemu. Beberapa kesempatan yang lalu aku jarang
sekali diberi izin untuk ke sana. Tapi saat itu Bapak mengizinkan. Walaupun aku
tahu, aku tidak akan pergi lama. Dan saat itu Bulik Tutik yang akan menjemput
kami di Jogja.
“Pak, pamit ya pak” aku berpamitan di dekat tempat tidur
“Hati – hati . Nggak usah lama –lama di sana. Kalau nggak
ada kamu nanti nggak ada yang bantu bapak duduk ke kursi roda.” Selama ini
bapak memang harus dibantu untuk duduk di kursi roda dari tempat tidur.
“Hanya sebentar. Nanti ada tetangga yang bantu.” Kataku
kemudian.
Semua berpamitan kemudian mobil
melaju menuju ke arah Magelang yang
nantinya akan berhenti di kota K, rumah Bulik Tutik. Di dalam mobil aku
merasa seperti ada yang mengganjal ketika aku meninggalkan ibu dan bapak. Tapi
aku pasti pulang sebelum hari dimana bapak cuci darah. Setelah tiga sampai
empat jam di perjalanan, akhirnya kami sampai di rumah Bulik Tutik. Saat
mengobrol di depan ruang tamu, hari esoknya kami berniat untuk berkunjung ke
rumah Bulik Yani, adik bapak nomor tiga. Bulik Yani juga jarang pulang ke
Jogja. Terakhir bertemu bapak saat Bulik Yani dan suaminya akan naik haji.
Itupun ada sedikit masalah antara Om Herman, suami Bulik Yani dengan Bapak.
Pagi ini,
aku, Bulik Neni, dan Bulik Tutik sekeluarga akan berkunjung ke rumah Bulik
Yani. Setengah perjalanan, mobil telah melaju sampai ke kota Semarang hingga
kemudian kami tiba di rumah Bulik Yani yang berada di kota P, Jawa Tengah. Kami
masuk dan kemudian berkumpul di ruang tengah. Diam – diam Bulik Tutik bicara
pada Bulik Yani.
“Yan, mbok kamu
pulang ke Jogja. Jenguk Mas Danu. Kemarin saat aku ke sana, aku tiba bersamaan
dengan mobil ambulan yang mengantarkannya pulang dari cuci darah. Masmu harus dibopong keluar dari ambulan. Nggak
seperti dulu yang masih bisa menggunakan krek
untuk berjalan. Aku merasa nggak tega dengannya”
“Aku sebenarnya selalu ingin pulang ke Jogja mbak setiap
anak – anak libur, tapi gimana. Aku sulit mendapat izin dari Mas Herman. Mbak
pasti tahu jugalah bagaimana hubungan Mas Herman dan Mas Danu sekarang seperti
apa.”
“Ya, coba kasih pengertian pada suamimu. Kemarin aku ke
Jogja, Mas Danu menangis ketika itu. Dia bilang padaku senang, adiknya ada yang
menjenguknya. Walaupun kita tahu sifat Mas Danu itu seperti apa, bagaimanapun
juga dia tetap masmu”
“Ya, nantilah mbak. Aku coba”
Keesokan harinya
aku dan Bulik Neni harus pulang ke Jogja. Karena Bulik Tutik tak bisa
mengantar, kali ini yang mengantarkan kami pulang Bulik Yani dan suaminya. Aku
mengabarkan pada bapak bila kami diantar oleh Bulik Yani dan Om Herman. Mobil
telah melaju lebih dari setengah perjalanan dan tiba – tiba bapak menelepon.
“Sampai mana ? Pulang ke rumah atau ke rumah Bulik Neni ?”
bapak menanyakan padaku dengan suara riang. Saat itu juga aku menanyakan pada
Bulik Neni tapi Bulik Neni hanya diam. Begitu juga dengan Bulik Yani yang ada
di sampingnya. Mereka semua ragu akan menanyakan pada Om Herman yang ada di
depan. Aku menangkap maksud dari mereka semua.
“Tidak tahu pak.Mungkin aku pulang ke rumah Bulik Neni,
Pak”
“Kalau sampai Om Herman mau ke rumah, kamu bapak kasih
seratus ribu wes ” bapak malah
bercanda menggodaku. Saat itu , ternyata ibu telah menyiapkan hidangan makanan
untuk kami bila nanti memang aku dan yang lain akan pulang ke rumah. Atau paling
tidak hanya mengantarkanku, turun dari mobil, mengambil barang – barang dan
kemudian mereka pulang.
Di sebuah
persimpangan jalan, mobil itu ternyata memilih untuk berbelok ke kanan. Itu artinya
aku pulang menuju rumah Bulik Neni. Bulik Yani dan Om Herman ikut menginap di
rumah Bulik Yani. Keesokan harinya, setelah subuh, dengan motor Bulik Neni
yang aku pinjam, aku terlebih dulu pulang dari rumah Bulik Neni menuju rumah.
Hari Rabu. Saatnya bapak kembali ke
rumah sakit untuk cuci darah. Hampir jam dua belas. Mobil ambulan itu belum
datang juga hingga beberapa menit kemudian akhirnya datang untuk mengantarkan
bapak ke rumah sakit. Cuci darah biasanya berlangsung selama tiga sampai empat
jam. Tapi bapak sering hanya meminta tiga jam saja. Karena lebih dari itu,
bapak akan mual dan muntah. Tidak seperti pasien yang lain yang betah sampai empat jam lebih .
Baru saja satu jam berlalu. Bapak
melambaikan tangan, memintaku untuk mendekat. Bicaranya agak serak dan suaranya
tidak begitu terdengar. Yang aku tangkap, bapak memintaku untuk memanggilkan
perawat untuk menyudahi cuci darah. Aku jelaskan bahwa ini baru berlangsung
satu jam. Masih lama. Setelah itu bapak mengerti. Walaupun tadi sempat memaksa
untuk menyudahi cuci darahnya.
Hari itu, hari – hari sepulang opname dari rumah sakit, bapak masih
saja di tempat tidur. Ketika itu bapak bilang padaku ingin bertemu dengan Bulik
Neni. Sudah lama sekali mereka tak
saling bertegur sapa. Semenjak kejadian itu, hubungan mereka berubah total.
Saat aku kecil, aku begitu dekat dengan Bulik Neni. Karena dulu, setiap bapak
keluar masuk rumah sakit, aku di rumah
selalu ditemani Bulik Neni. Tapi kata bapak, walaupun hubungan bapak dengan
Bulik Neni merenggang, aku tidak boleh seperti mereka. Aku tetap akrab dengan
Bulik Neni. Walaupun kadang tak sepenuhnya seperti dulu. Kata bapak, urusan ini
urusan bapak dengan Bulik Neni. Aku tidak boleh ikut campur.
“Tolong telepon Bulik Neni, suruh dia kemari. Aku ingin bertemu
dengannya. Ada sesuatu yang harus bapak sampaikan”
“Aku mau menelepon Bulik Neni untuk datang kemari pak. Tapi
aku tidak mau jika nanti tiba – tiba saat bertemu, seperti yang dulu – dulu
lagi.” Aku tidak mau jika keduanya bertemu dan bertengkar lagi. Aku tahu sifat
bapak seperti apa dan Bulik Neni seperti apa. Sama – sama kerasnya.
“Tidak. Bapak cuma pengen ketemu. Saudara - saudara ibu saja menjenguk bapak kok adik kandung sendiri tidak pernah menjenguk.” Bapak
menangis setiap kali dijenguk oleh saudara dari ibuku karena teringat sesuatu tentang adiknya sendiri.
“Tapi janji pak. Kali ini jangan dulu membahas masalah itu
karena jika iya mungkin Bulik Neni tidak akan mau ke sini. Dan tahan dulu , jangan terlalu emosi ”
“Iya. Aku hanya pengen ketemu”
Aku menelepon
Bulik Neni tapi tidak diangkatnya. Sempat aku berfikir ia tak mau mengangkat
karena nomor yang digunakan untuk menelepon adalah nomor bapak. Kemudian
setelah tidak diangkat, aku mencoba untuk mengirim pesan sms. Aku bilang bahwa
bapak ingin bertemu. Bapak tidak akan marah lagi seperti dulu. Aku katakan, “Aku yang menjamin”. Beberapa saat kemudian Bulik Neni datang bersama anaknya. Mereka
akhirnya bertemu. Aku mencegah anaknya agar tidak ikut dalam pertemuan itu.
Anak itu duduk bersamaku di depan televisi.
Sekilas
aku berjalan melewati ruang itu. Aku mendengar percakapan mereka.
“Nen, aku njaluk
ngapuro nek aku nduwe salah” ucapan itu yang pertama kali aku dengar dari
bapak setelah sebelum – sebelumnya bapak tak pernah mau bicara pada adiknya
ini semenjak kejadian itu..
“Rapopo, sing salah aku mas” Bulik Neni
mengucapkan sambil menangis. Keduanya berada dalam suasana haru.
“Sekarang kamu disini ya. Menemani Hani dan Narti mengurus
aku. Aku sudah tidak bisa apa – apa lagi. Selama ini hanya mereka berdua. Saat
tengah malam, kadang mereka harus terbangun bila kadang aku ingin buang air. Atau kadang bila aku perlu sesuatu.”
“Ya, mas. Sekarang aku pulang dulu. Setelah itu aku
kemari”
Selama
tiga hari Bulik Neni di rumahku. Motorku sudah saatnya di servis. Katanya,
Bulik Neni akan berkenan untuk membawa motor tersebut ke dealer yang ada di
dekat rumahnya. Sambil menunggu servis motor selesai, Bulik Neni menelepon Bude
Mina yang ada di Jakarta, Bulik Tutik, dan Bulik Yani. Bulik Neni mengatakan
bahwa keadaan bapak kali ini memang benar – benar lemah. Hanya berbaring di
tempat tidur saja. Duduk pun harus dibantu. Terkadang hanya diam saja sambil
melamun. Bulik Neni meminta mereka semua agar pulang ke Jogja. Bude Mina tidak
bisa pulang ke Jogja karena Bude Mina juga sedang opname di rumah sakit. Bulik Tutik berniat akan pulang sendiri nanti
siang ke Jogja. Sedangkan Bulik Yani pada saat diltelpon, tanda – tanda hp itu
akan diangkat sepertinya tidak ada.
Jam
menunjukkan pukul setengah dua. Motor itu belum juga usai diservis. Tiba – tiba
ponsel Bulik Neni berbunyi. Telepon itu dariku.
“Hallo, bulik. bapak sudah tidak ada”
Seketika itu motor yang belum selesai diservis ditinggal
begitu saja. Ia meminta pada karyawan dealer untuk menitipkan motor di rumah tempat
dealer tersebut menyewa. Kebetulan, dealer servis motor itu menyewa tempat milik
tetangga dekat Bulik Neni.
Bulik Neni
kembali menelepon Bude Mina, Bulik Yani, Bulik Tutik, dan Bulik Rub adik bapak
nomor dua. Bulik Tutik yang saat siang itu berencana akan pulang ke Jogja
sendiri naik bis mengurungkan niatnya untuk naik bis. Ternyata saat mendapat
kabar dari Bulik Neni bahwa bapak telah tiada, Bulik Tutik sedang berada di
perjalanan menuju Jogja. Bulik Tutik tidak jadi naik bis sendiri. Bersama anak
dan suaminya, naik mobil menuju Jogja.
Kemudian, saat Bulik Neni menelepon
Bulik Yani untuk yang pertama kali sebelum mendengar kabar duka itu, Bulik Yani sedang berada di masjid untuk berdoa agar diberi petunjuk. Bulik Yani bingung.
Bulik Yani ingin menjenguk bapak tapi Om Herman belum juga memberi izin.
Mungkin Om Herman masih kesal dengan bapak karena masalah – masalah yang telah
lalu.Ya, hanya dugaanku. Setelah pulang dari masjid. Beberapa saat kemudian
Bulik Yani meminta izin kembali pada Om Herman untuk pulang ke Jogja. Dan tidak
disangka, Om herman kemudian memberi izin. Om Herman juga akan ikut ke Jogja.
Akan tetapi, saat Bulik Yani akan menuju mobilnya, ponsel itu kembali berdering
untuk yang kedua kalinya. Terlambat memang. Bulik Yani mendapat kabar dari
Bulik Neni bahwa kakaknya telah tiada.
~Okyuanda~
~Okyuanda~
0 comments:
Post a Comment