Wednesday, 12 April 2017

Hari Terakhir

Standard
Benar aku tak mengerti. Ku kira, setelah kepulangannya dari rumah sakit, bapak akan sembuh seperti sedia kala. Seperti waktu itu, sembuh dari koma beberapa tahun yang lalu.

Kata dokter, kondisi badannya telah membaik. Hanya saja, setiap hari alat tensi, pengecek gula darah, dan suntikan insulin harus selalu tersedia. Aku hanya menggunakan benda - benda tersebut bila diminta. Atau, apabila saat tubuhnya ku lihat mulai dalam kondisi tak berdaya. 

Saat itu aku yakin beliau akan sembuh dari penyakitnya. Walaupun tak seutuhnya. Karena aku pikir cuci darah itu akan dijalani untuk seumur hidupnya. Ya, paling tidak kondisi badannya dapat normal kembali. Seperti tensi dan gula darahnya. 
Doa yang selalu aku minta. "Ya Allah, semoga bapak lekas sembuh. Angkatlah penyakitnya"

Hari itu hari yang sama sekali tidak aku sangka. Pagi itu, aku masih dapat berbicara dengannya. Masih sempat menyuruhku untuk membelikan kue lapis. Saat kue lapis itu telah ku dapatkan, kemudian aku tawarkan padanya kembali. Tapi bapak sudah tak menginginkannya.

Siang harinya, aku hanya duduk disampingnya. Bapak seringkali hanya terdiam. Tangan itu diangkatnya seolah - olah ingin meraih sesuatu. Tatapan mata itu tak seperti saat beliau memarahiku. Badan ini ku condongkan mendekati tempat tidurnya. Meraih tangannya. Lalu kutanya. 
"Ada apa?" 
Dua bola matanya beralih menatapku. Kedua bibirnya tetap saja diam tak bersuara. Ku pegang erat jari - jarinya. Kemudian tangan itu turun mengikuti tanganku dan jatuh di samping tubuhnya.

Sesaat kemudian, kedua tangan itu telah berada tepat di dadanya. Beliau tetap terdiam. Tak bersuara. Tapi kulihat bibir itu berusaha bergetar mengucap kata - kata. Hanya saja aku yang tak mendengar. Urat nadi di lehernya menggerakkan kulit keriputnya. Aku tidur disampingnya. Membisikkan kalimat tauhid. Terus menerus, tak henti berucap. 
Tiba -tiba telinganya basah. Air mataku keluar sampai akhirnya jatuh membasahi telinga yang menempel di pipiku. Aku tak mengerti lagi keadaannya. Aku memejamkan mata. Masih kurasakan hangat di tubuhnya. Tetanggaku berdatangan. Menghampiriku dan bapak. Membacakan yasin. 

Air mataku semakin deras. Kalimat tauhid itu terus berucap dari kedua bibirku semakin keras. Aku ragu. Akankah iya ? Akankah sekarang?
Lagi - lagi aku masih merasakan hangatnya tangan yang dari tadi aku pegang. Tak mengerti sejak kapan, tapi tiba - tiba seorang telah mengatakan " innalillahi wa inna ilaihi raji'un". Apakah ini jawaban dari doaku? Doa yang menginginkan penyakit itu diangkat dari tubuhnya. Allah tahu yang terbaik untuk bapak. Penyakit itu telah diangkat dan sakit itu tak pernah bapak rasakan lagi. Aku memeluk ibu yang ada di sampingku. "Sudah bu, jangan menangis lagi. Masih ada aku di sini"



0 comments:

Post a Comment