Mengemis Uang Sendiri
Oleh
One Khusnawati Yuanda
Laki - laki berkumis tebal lulusan
insinyur itu bernama Pak Jaka. Dia terlihat memakai celana di bawah perut
karena perutnya yang besar mengembang seperti ibu hamil sembilan bulan. Gayanya
tak semewah dahulu. Topi koboi, sepatu kulit yang selalu disemir, dan kacamata
hitam yang menghiasi wajahnya tak nampak melekat di tubuhnya. Bahkan,
penampilannya saat pulang kampung kali ini ia terlihat lesu. Tidak seperti
biasanya yang terlihat ceria menyapa semua orang yang ditemui.
Insinyur itu dulunya bekerja
sebagai marketing di sebuah perusahaan mie yang ada
di Jakarta. Tapi karena perusahaan tersebut bangkrut, Pak Jaka pulang ke
kampung halamannya. Di kampung halamnnya di Desa Sumberrahayu Pak Jaka bertemu
dengan Pak Budi, seorang pengusaha kerajinan tas di desa tersebut. Usaha
tersebut sukses. Pak Budi melayani permintaan dari luar kota bahkan terkadang mancanegara.
Melihat usaha Pak Budi yang saat ini telah sukses, menjadi peluang bagi Pak
Jaka untuk ikut bekerja sama dengan Pak Budi dalam pemasaran. Kebangkrutan
perusahaan tersebut menyebabkan datangnya Pak Jaka ke rumah Pak Budi.
Matahari
mulai meninggi. Bersinar terik di atas kepalanya. Akan tetapi, Adzan Dzuhur
belum juga berkumandang. Mungkin sebentar lagi. Sambil menunggu adzan, Pak Jaka
meluangkan waktu sebentar untuk menyempatkan diri berkunjung ke rumah Pak Budi.
"Assalamu'alaikum... kula nuwun" Pak Jaka mengetuk pintu
dengan wajah yang berseri dan hati yang penuh dengan semangat.
"Wa'alaikumsalam.... Eh Pak
Jaka. Mangga, silakan masuk. Sudah
lama kita tidak bertemu" Sapa Pak Budi kemudian mempersilakan Pak Jaka
masuk lalu duduk di kursi ruang tamu.
"Bagaimana kabar Pak Jaka? Mengambil
cuti berapa hari liburan kali ini?" Pak Budi tidak mengetahui jika Pak
Jaka sudah berhenti dari pekerjaan sebagai marketing di perusahaan mie
tersebut. Sehingga ia mengira bahwa Pak Jaka pulang ke kampung halaman karena
mengambil cuti liburan seperti biasa.
"Baik pak. Saya sekarang sudah
tidak bekerja di Jakarta lagi. Saya pulang ke kampung dan ingin bekerja di sini
saja. Sepertinya itu lebih baik." kata Pak Jaka menceritakan apa yang
terjadi pada dirinya saat ini.
"Loh…loh…loh memangnya ada apa
dengan perusahaan itu?"
Pak Budi mencondongkan badannya dari tempat duduk mendekati
Pak Jaka yang ada di hadapannya. Matanya melotot heran. Ditopangnya dagu dengan
tangan kanannya kemudian mengerutkan keningnya bersiap mendengarkan alasan
kepulangan Pak Jaka yang membuatnya keheranan.
"Perusahaan itu bangkrut Pak.
Direktur baru perusahaan tersebut bermasalah" Pak Jaka mengangkat tangan
kanannya memegang kedua pelipis dan menggeleng – gelengkan kepalanya dengan
raut wajah yang pasrah.
"Oiya pak, silakan diminum
dulu." Sambil mempersilakan Pak Jaka meminum teh hangat yang sebelumnya
telah diantarkan di meja ruang tamu oleh putrinya.
"Ya berkaitan dengan hal
tersebut pak.Sebelumnya saya minta maaf. Kedatangan saya kemari untuk meminta
bapak agar mau membuka kesempatan lapangan pekerjaan untuk saya. Saya ingin
memasarkan produk tas kerajinan bapak. Saya memutuskan untuk pulang ke kampung
tapi saya bingung mau kerja apa. Kerja di sawah saya tidak bisa. Kebetulan tadi
pagi saya bertemu dengan Pak Slamet. Saya bilang saya sedang butuh pekerjaan.
Lalu beliau menyarankan saya untuk datang ke sini. Sebagai mantan seorang marketing, saya yakin saya bisa
memasarkan produk bapak ini. Kebetulan kenalan saya di luar juga banyak. Saya
mohon pada Pak Budi. Saya butuh pekerjaan untuk menghidupi anak istri saya di
sini pak." Pak Jaka mengutarakan keinginannya setelah menyeruput secangkir
teh itu.
"Ya coba nanti saya pikirkan
terlebih dahulu pak. Nanti saya kabari lagi. Tapi saya tidak bisa menjajikan ya
pak." Pak Budi mengangkat tubuhnya yang membungkuk dan melepaskan tangan
yang menopang dagunya sejak tadi.
"Ya pak saya tunggu kabar
selanjutnya dari bapak. Kalau begitu saya pamit dulu Pak. Nanti kabari saya
melalui nomor ini saja ya pak" Pak Jaka mengulurkan tangannya menyerahkan
kertas yang berisi nomor telepon miliknya.
"Ya pak nanti saya kabari
lagi"
Kemudian Pak Budi sejenak berpikir.
“Sebenarnya aku masih sedikit ragu.Akankah dia dapat aku
percaya? Tapi setelah dipikir – pikir kasihan juga kalau dia tak punya
pekerjaan di sini. Anaknya saja lima. Lagi pula dia masih keponakan Bulik
Narti, istri Paklik Slamet. Aku menjadi tak tega padanya. Tak apalah.” Setelah Pak
Budi yakin akan keputusannya ia mengambil ponsel yang berada tak jauh dari
tempat ia berdiri kemudian menelepon Pak Jaka.
Semenjak pulang dari Jakarta Pak
Jaka tinggal bersama kakaknya. Rumah itu adalah rumah warisan orang tua yang
diberikan kepada kakaknya. Pak Jaka sedang menonton televisi saat Pak Budi menelepon. Pak Budi mengabarkan
bahwa ia menyetujui permintaan Pak Jaka untuk memasarkan produknya.
Matahari yang tadi bersinar terik
di atas kepala telah beralih menuju ufuk barat dan akhirnya tenggelam. Langit
biru yang cerah dengan awan putih berubah menjadi semakin gelap dengan warna orange yang menciptakan senja. Beberapa waktu setelah
itu adzan berkumandang. Selepas Sholat Maghrib Pak Jaka memenuhi permintaan Pak
Budi untuk datang ke rumahnya.
"Assalamu'alaikum Pak Budi"
Pak Jaka menyapa Pak Budi yang kebetulan sedang duduk di teras rumah sambil
membawa buku catatan. Sepertinya ia sedang merekap penjualan tasnya hari ini.
"Wa'alaikum salam.... Oh... Pak Jaka, silakan masuk.” Pak
Budi mempersilakan masuk. Setelah mereka duduk kemudian Pak Jaka memulai
pembicaraan.
“Jadi bagaimana pak? Kapan saya dapat memulainya”
“Mungkin besok sudah bisa pak. Nanti akan saya beri tahu
lebih lanjut mengenai penjualan di lapangan seperti apa. Masalah pembayaran, paling
tidak enam bulan sekali sudah lunas.” Kata Pak Budi menjelaskan
“Ya pak tidak masalah.” Pak Jaka menjawab dengan mantap
“Nanti malam barangnya akan saya siapkan terlebih dahulu.”
“Ya pak, saya sangat berterima kasih sekali sudah mau
membantu saya. Kalau tidak ada Pak Budi saya tidak tahu lagi harus makan dari
mana”
“Yang terpenting nantinya Pak Jaka bersungguh – sungguh
menjalankan kerja sama ini.” Kata Pak Budi yang mulai percaya dengan Pak Jaka.
Kerjasama
tersebut telah berjalan selama dua tahun. Selama dua tahun itu Pak Jaka sungguh
– sungguh dalam menjalani pekerjaan barunya. Hingga saat ini dia telah menjadi
pengusaha kaya yang kedua setelah Pak Budi. Akan tetapi enam bulan setelah itu
tas – tas kerajinan yang ia ambil untuk dipasarkan belum juga di bayar. Sudah
beberapa kali di telpon tetapi jawabannya hanya ya saja. Pada kenyataannya
belum segera membayar juga. Saat itu kebetulan Pak Budi sedang melewati rumah
Pak Jaka selepas pulang dari menengok saudara yang sakit. Pak Budi berinisiatif
untuk mampir main sebentar ke rumah Pak Jaka dan menanyakan soal hutang
piutangnya. Kebetulan saat itu Pak Jaka sedang menyirami tanaman di halaman
rumah saat Pak Budi berniat untuk mampir. Pak Budi menyapa
“Pak Jaka, tanamannya segar – segar
ya pak” kata Pak Budi mengagetkan Pak Jaka yang sedang menyirami tanaman
membelakangi Pak Budi yang kemudian langsung berbalik badan saat Pak Budi
menyapa
“Eh Pak Budi. Mari silakan duduk
terlebih dahulu” Pak Jaka kaget dengan kedatangan Pak Budi yang tiba – tiba.
Pak Jaka kemudian mempersilakan Pak Budi duduk di gazebo yang ada di taman
halaman rumahnya, membereskan selang air dan kemudian menyusul duduk bersama
dengan Pak Budi.
“Saya tadi habis menjenguk
keponakan yang sakit. Kebetulan lewat sini terus mampir. Saya juga mau
menanyakan masalah pembayaran tas kerajianan itu pak. Saya butuh modal dan saya
harap Pak Jaka segera membayarkannya karena hal tersebut juga sudah lebih dari
enam bulan. Kemarin kan bapak janji minggu depan. Hari ini tepatnya” Pak Budi
langsung mengutarakan apa yang sebenarnya. Pak Budi memang sedang butuh modal.
“Nanti akan segera saya bayarkan
pak. Sore nanti saya akan ke rumah bapak. ” Pak Jaka memberikan jawaban yang
menenangkan
Jam dinding di ruang tamu telah
menunjukan pukul 21.00. Dari tadi sore Pak Jaka yang berjanji akan datang untuk
melunasi tidak kunjung datang juga. Hingga akhirnya Pak Budi yang tadinya melihat
televisi sambil tiduran di sofa ruang tamu menunggu kedatangan Pak Jaka
akhirnya terlelap tidur.
Suara
kokok ayam jago yang ditempatkan di dalam kurungan besar di depan rumahnya itu
membangunkannya. Pak Budi baru sadar bahwa hari ternyata sudah pagi dan ia juga
baru sadar bahwa Pak Jaka lagi – lagi mengingkari janjinya sendiri.
Tiga bulan
setelah Pak Jaka ingkar janji, Pak Budi menyuruh Martono, orang kepercayaannya
untuk menagih hutang Pak Jaka. Pak Budi berpesan agar tidak mudah tersinggung
dengan apa yang nantinya Pak Jaka katakan atau jika dia marah – marah.
Mengingat bahwa beberapa waktu yang lalu saat Pak Budi menyuruh orang
kepercayaan yang lain menagih hutang Pak Jaka, orang tersebut malah di bentak –
bentak oleh Pak Jaka.
“Pak Jaka sekarang sombong pak. Pada saat saya menagih
hutang bapak saja saya malah di bentak – bentak. Katanya kedatangan saya untuk
menagih hutang dikira menghina Pak Jaka yang sekarang juga sambil usaha batu
akik itu tak bisa membayar hutang” kata orang kepercayaan Pak Budi yang
beberapa waktu yang lalu menagih hutang.
Pak Jaka sekarang sedang sibuk
menjalani usaha batu akiknya. Sampai usaha tas kerajinan milik Pak Budi tidak
ia jalankan lagi dan malah beralih menjalankan usaha batu akiknya itu.
Pak Budi heran dengan sifat Pak Jaka sekarang. Dia berubah
menjadi seseorang yang sombong. Istrinya yang telah paruh baya itu ia sulap seminggu
sekali menjadi awet muda bak ibu pejabat zaman sekarang. Setiap akhir pekan
beberapa restoran ia kunjungi bersama keluarganya. Ia seperti tak ingat lagi
pada hutang yang ia tinggalkan pada Pak Budi.
Uang itu
memang tak seberapa akan tetapi lumayan juga untuk tambahan modal. Setiap bulan
Pak Budi selalu menagih Pak Jaka. Pak Budi berniat untuk menelepon saat itu
tetapi jaringan sedang sibuk. Tak lama kemudian di telponnya kembali. Jaringan tersambung akan
tetapi sudah lebih dari lima kali tak diangkatnya juga.
Malam itu
hujan sangat deras. Niat Pak Budi untuk datang berkunjung ke rumah Pak Jaka
menagih hutang sepertinya gagal lagi. Padahal malam itu Pak Budi yakin jika Pak
Jaka ada di rumah setelah Pak Budi diberitahu oleh tetangga Pak Jaka sepulang
dari masjid. Lalu bulan berikutnya. Pak Budi mencoba mendatangi rumah itu tanpa
sebelumnya mengabarkan dahulu pada Pak Jaka bahwa ia akan datang. Karena, apabila
ia menelepon dahulu pada Pak Jaka jika ia akan datang, Pak Jaka pasti sudah
bersiap untuk pergi keluar rumah entah kemana. Pokoknya jangan sampai bertemu
dengan Pak Budi.
Kemudian
hari itu Pak Budi secara tiba – tiba datang ke rumah Pak Jaka. Pak Budi tahu
untuk menyikapi sifat Pak Jaka yang sedemikian itu ia harus sabar. Jika uangnya
ingin kembali ia harus bersikap baik dan lemah lembut pada Pak Jaka. Walaupun
sebenarnya ia berniat untuk melaporkan ke polisi tetapi ia mengurungkan
niatnya. Lagi pula kerja sama itu dari awal tidak ada perjanjian tertulis. Jadi,
dirasa kurang kuat pembuktiannya di hadapan hukum. Dari awal hanya saling
percaya. Pak Budi tidak menyangka bila kejadiannya akan seperti ini. Karena
pada awal, Pak Jaka dikenalnya sebagai orang yang baik dan sepertinya dapat
dipercaya. Kenyataannya sekarang tidak.
Pada saat
Pak Budi sampai di depan pintu rumah Pak Jaka, selembar kertas bertuliskan “RUMAH
INI DI SITA” menempel pada pintu rumah Pak Jaka. Pak Budi yang tidak tahu
menahu tentang hal tersebut kemudian langsung berbalik badan dan pulang karena
tidak ditemui satu orang pun dalam rumah Pak Jaka. Dalam hati Pak Budi merasa
kasihan sekaligus jengkel. Mengapa Pak Jaka tak belajar dari masa lalu yang
sudah – sudah.
0 comments:
Post a Comment