Tuesday, 28 March 2017

Mengemis Uang Sendiri

Standard
Mengemis Uang Sendiri
Oleh
One Khusnawati Yuanda


Laki - laki berkumis tebal lulusan insinyur itu bernama Pak Jaka. Dia terlihat memakai celana di bawah perut karena perutnya yang besar mengembang seperti ibu hamil sembilan bulan. Gayanya tak semewah dahulu. Topi koboi, sepatu kulit yang selalu disemir, dan kacamata hitam yang menghiasi wajahnya tak nampak melekat di tubuhnya. Bahkan, penampilannya saat pulang kampung kali ini ia terlihat lesu. Tidak seperti biasanya yang terlihat ceria menyapa semua orang yang ditemui.
Insinyur itu dulunya bekerja sebagai marketing di sebuah perusahaan mie yang ada di Jakarta. Tapi karena perusahaan tersebut bangkrut, Pak Jaka pulang ke kampung halamannya. Di kampung halamnnya di Desa Sumberrahayu Pak Jaka bertemu dengan Pak Budi, seorang pengusaha kerajinan tas di desa tersebut. Usaha tersebut sukses. Pak Budi melayani permintaan dari luar kota bahkan terkadang mancanegara. Melihat usaha Pak Budi yang saat ini telah sukses, menjadi peluang bagi Pak Jaka untuk ikut bekerja sama dengan Pak Budi dalam pemasaran. Kebangkrutan perusahaan tersebut menyebabkan datangnya Pak Jaka ke rumah Pak Budi.
            Matahari mulai meninggi. Bersinar terik di atas kepalanya. Akan tetapi, Adzan Dzuhur belum juga berkumandang. Mungkin sebentar lagi. Sambil menunggu adzan, Pak Jaka meluangkan waktu sebentar untuk menyempatkan diri berkunjung ke rumah Pak Budi.
"Assalamu'alaikum... kula nuwun" Pak Jaka mengetuk pintu dengan wajah yang berseri dan hati yang penuh dengan semangat.
"Wa'alaikumsalam.... Eh Pak Jaka. Mangga, silakan masuk. Sudah lama kita tidak bertemu" Sapa Pak Budi kemudian mempersilakan Pak Jaka masuk lalu duduk di kursi ruang tamu.
"Bagaimana kabar Pak Jaka? Mengambil cuti berapa hari liburan kali ini?" Pak Budi tidak mengetahui jika Pak Jaka sudah berhenti dari pekerjaan sebagai marketing di perusahaan mie tersebut. Sehingga ia mengira bahwa Pak Jaka pulang ke kampung halaman karena mengambil cuti liburan seperti biasa.
"Baik pak. Saya sekarang sudah tidak bekerja di Jakarta lagi. Saya pulang ke kampung dan ingin bekerja di sini saja. Sepertinya itu lebih baik." kata Pak Jaka menceritakan apa yang terjadi pada dirinya saat ini.
"Loh…loh…loh memangnya ada apa dengan perusahaan itu?"
Pak Budi mencondongkan badannya dari tempat duduk mendekati Pak Jaka yang ada di hadapannya. Matanya melotot heran. Ditopangnya dagu dengan tangan kanannya kemudian mengerutkan keningnya bersiap mendengarkan alasan kepulangan Pak Jaka yang membuatnya keheranan.
"Perusahaan itu bangkrut Pak. Direktur baru perusahaan tersebut bermasalah" Pak Jaka mengangkat tangan kanannya memegang kedua pelipis dan menggeleng – gelengkan kepalanya dengan raut wajah yang pasrah.
"Oiya pak, silakan diminum dulu." Sambil mempersilakan Pak Jaka meminum teh hangat yang sebelumnya telah diantarkan di meja ruang tamu oleh putrinya.
"Ya berkaitan dengan hal tersebut pak.Sebelumnya saya minta maaf. Kedatangan saya kemari untuk meminta bapak agar mau membuka kesempatan lapangan pekerjaan untuk saya. Saya ingin memasarkan produk tas kerajinan bapak. Saya memutuskan untuk pulang ke kampung tapi saya bingung mau kerja apa. Kerja di sawah saya tidak bisa. Kebetulan tadi pagi saya bertemu dengan Pak Slamet. Saya bilang saya sedang butuh pekerjaan. Lalu beliau menyarankan saya untuk datang ke sini. Sebagai mantan seorang marketing, saya yakin saya bisa memasarkan produk bapak ini. Kebetulan kenalan saya di luar juga banyak. Saya mohon pada Pak Budi. Saya butuh pekerjaan untuk menghidupi anak istri saya di sini pak." Pak Jaka mengutarakan keinginannya setelah menyeruput secangkir teh itu.
"Ya coba nanti saya pikirkan terlebih dahulu pak. Nanti saya kabari lagi. Tapi saya tidak bisa menjajikan ya pak." Pak Budi mengangkat tubuhnya yang membungkuk dan melepaskan tangan yang menopang dagunya sejak tadi.
"Ya pak saya tunggu kabar selanjutnya dari bapak. Kalau begitu saya pamit dulu Pak. Nanti kabari saya melalui nomor ini saja ya pak" Pak Jaka mengulurkan tangannya menyerahkan kertas yang berisi nomor telepon miliknya.
"Ya pak nanti saya kabari lagi"
Kemudian Pak Budi sejenak berpikir.
“Sebenarnya aku masih sedikit ragu.Akankah dia dapat aku percaya? Tapi setelah dipikir – pikir kasihan juga kalau dia tak punya pekerjaan di sini. Anaknya saja lima. Lagi pula dia masih keponakan Bulik Narti, istri Paklik Slamet. Aku menjadi tak tega padanya. Tak apalah.” Setelah Pak Budi yakin akan keputusannya ia mengambil ponsel yang berada tak jauh dari tempat ia berdiri kemudian menelepon Pak Jaka.
Semenjak pulang dari Jakarta Pak Jaka tinggal bersama kakaknya. Rumah itu adalah rumah warisan orang tua yang diberikan kepada kakaknya. Pak Jaka sedang menonton televisi  saat Pak Budi menelepon. Pak Budi mengabarkan bahwa ia menyetujui permintaan Pak Jaka untuk memasarkan produknya.
Matahari yang tadi bersinar terik di atas kepala telah beralih menuju ufuk barat dan akhirnya tenggelam. Langit biru yang cerah dengan awan putih berubah menjadi semakin gelap dengan warna orange  yang menciptakan senja. Beberapa waktu setelah itu adzan berkumandang. Selepas Sholat Maghrib Pak Jaka memenuhi permintaan Pak Budi untuk datang ke rumahnya.
"Assalamu'alaikum Pak Budi" Pak Jaka menyapa Pak Budi yang kebetulan sedang duduk di teras rumah sambil membawa buku catatan. Sepertinya ia sedang merekap penjualan tasnya hari ini.
"Wa'alaikum salam.... Oh... Pak Jaka, silakan masuk.” Pak Budi mempersilakan masuk. Setelah mereka duduk kemudian Pak Jaka memulai pembicaraan.
“Jadi bagaimana pak? Kapan saya dapat memulainya”
“Mungkin besok sudah bisa pak. Nanti akan saya beri tahu lebih lanjut mengenai penjualan di lapangan seperti apa. Masalah pembayaran, paling tidak enam bulan sekali sudah lunas.” Kata Pak Budi menjelaskan
“Ya pak tidak masalah.” Pak Jaka menjawab dengan mantap
“Nanti malam barangnya akan saya siapkan terlebih dahulu.”
“Ya pak, saya sangat berterima kasih sekali sudah mau membantu saya. Kalau tidak ada Pak Budi saya tidak tahu lagi harus makan dari mana”
“Yang terpenting nantinya Pak Jaka bersungguh – sungguh menjalankan kerja sama ini.” Kata Pak Budi yang mulai percaya dengan Pak Jaka.
            Kerjasama tersebut telah berjalan selama dua tahun. Selama dua tahun itu Pak Jaka sungguh – sungguh dalam menjalani pekerjaan barunya. Hingga saat ini dia telah menjadi pengusaha kaya yang kedua setelah Pak Budi. Akan tetapi enam bulan setelah itu tas – tas kerajinan yang ia ambil untuk dipasarkan belum juga di bayar. Sudah beberapa kali di telpon tetapi jawabannya hanya ya saja. Pada kenyataannya belum segera membayar juga. Saat itu kebetulan Pak Budi sedang melewati rumah Pak Jaka selepas pulang dari menengok saudara yang sakit. Pak Budi berinisiatif untuk mampir main sebentar ke rumah Pak Jaka dan menanyakan soal hutang piutangnya. Kebetulan saat itu Pak Jaka sedang menyirami tanaman di halaman rumah saat Pak Budi berniat untuk mampir. Pak Budi menyapa
“Pak Jaka, tanamannya segar – segar ya pak” kata Pak Budi mengagetkan Pak Jaka yang sedang menyirami tanaman membelakangi Pak Budi yang kemudian langsung berbalik badan saat Pak Budi menyapa
“Eh Pak Budi. Mari silakan duduk terlebih dahulu” Pak Jaka kaget dengan kedatangan Pak Budi yang tiba – tiba. Pak Jaka kemudian mempersilakan Pak Budi duduk di gazebo yang ada di taman halaman rumahnya, membereskan selang air dan kemudian menyusul duduk bersama dengan Pak Budi.
“Saya tadi habis menjenguk keponakan yang sakit. Kebetulan lewat sini terus mampir. Saya juga mau menanyakan masalah pembayaran tas kerajianan itu pak. Saya butuh modal dan saya harap Pak Jaka segera membayarkannya karena hal tersebut juga sudah lebih dari enam bulan. Kemarin kan bapak janji minggu depan. Hari ini tepatnya” Pak Budi langsung mengutarakan apa yang sebenarnya. Pak Budi memang sedang butuh modal.
“Nanti akan segera saya bayarkan pak. Sore nanti saya akan ke rumah bapak. ” Pak Jaka memberikan jawaban yang menenangkan
Jam dinding di ruang tamu telah menunjukan pukul 21.00. Dari tadi sore Pak Jaka yang berjanji akan datang untuk melunasi tidak kunjung datang juga. Hingga akhirnya Pak Budi yang tadinya melihat televisi sambil tiduran di sofa ruang tamu menunggu kedatangan Pak Jaka akhirnya terlelap tidur.
            Suara kokok ayam jago yang ditempatkan di dalam kurungan besar di depan rumahnya itu membangunkannya. Pak Budi baru sadar bahwa hari ternyata sudah pagi dan ia juga baru sadar bahwa Pak Jaka lagi – lagi mengingkari janjinya sendiri.
            Tiga bulan setelah Pak Jaka ingkar janji, Pak Budi menyuruh Martono, orang kepercayaannya untuk menagih hutang Pak Jaka. Pak Budi berpesan agar tidak mudah tersinggung dengan apa yang nantinya Pak Jaka katakan atau jika dia marah – marah. Mengingat bahwa beberapa waktu yang lalu saat Pak Budi menyuruh orang kepercayaan yang lain menagih hutang Pak Jaka, orang tersebut malah di bentak – bentak oleh Pak Jaka.
“Pak Jaka sekarang sombong pak. Pada saat saya menagih hutang bapak saja saya malah di bentak – bentak. Katanya kedatangan saya untuk menagih hutang dikira menghina Pak Jaka yang sekarang juga sambil usaha batu akik itu tak bisa membayar hutang” kata orang kepercayaan Pak Budi yang beberapa waktu yang lalu menagih hutang.
Pak Jaka sekarang sedang sibuk menjalani usaha batu akiknya. Sampai usaha tas kerajinan milik Pak Budi tidak ia jalankan lagi dan malah beralih menjalankan usaha batu akiknya itu.
Pak Budi heran dengan sifat Pak Jaka sekarang. Dia berubah menjadi seseorang yang sombong. Istrinya yang telah paruh baya itu ia sulap seminggu sekali menjadi awet muda bak ibu pejabat zaman sekarang. Setiap akhir pekan beberapa restoran ia kunjungi bersama keluarganya. Ia seperti tak ingat lagi pada hutang yang ia tinggalkan pada Pak Budi.
            Uang itu memang tak seberapa akan tetapi lumayan juga untuk tambahan modal. Setiap bulan Pak Budi selalu menagih Pak Jaka. Pak Budi berniat untuk menelepon saat itu tetapi jaringan sedang sibuk. Tak lama kemudian  di telponnya kembali. Jaringan tersambung akan tetapi sudah lebih dari lima kali tak diangkatnya juga.
            Malam itu hujan sangat deras. Niat Pak Budi untuk datang berkunjung ke rumah Pak Jaka menagih hutang sepertinya gagal lagi. Padahal malam itu Pak Budi yakin jika Pak Jaka ada di rumah setelah Pak Budi diberitahu oleh tetangga Pak Jaka sepulang dari masjid. Lalu bulan berikutnya. Pak Budi mencoba mendatangi rumah itu tanpa sebelumnya mengabarkan dahulu pada Pak Jaka bahwa ia akan datang. Karena, apabila ia menelepon dahulu pada Pak Jaka jika ia akan datang, Pak Jaka pasti sudah bersiap untuk pergi keluar rumah entah kemana. Pokoknya jangan sampai bertemu dengan Pak Budi.
            Kemudian hari itu Pak Budi secara tiba – tiba datang ke rumah Pak Jaka. Pak Budi tahu untuk menyikapi sifat Pak Jaka yang sedemikian itu ia harus sabar. Jika uangnya ingin kembali ia harus bersikap baik dan lemah lembut pada Pak Jaka. Walaupun sebenarnya ia berniat untuk melaporkan ke polisi tetapi ia mengurungkan niatnya. Lagi pula kerja sama itu dari awal tidak ada perjanjian tertulis. Jadi, dirasa kurang kuat pembuktiannya di hadapan hukum. Dari awal hanya saling percaya. Pak Budi tidak menyangka bila kejadiannya akan seperti ini. Karena pada awal, Pak Jaka dikenalnya sebagai orang yang baik dan sepertinya dapat dipercaya. Kenyataannya sekarang tidak.
            Pada saat Pak Budi sampai di depan pintu rumah Pak Jaka, selembar kertas bertuliskan “RUMAH INI DI SITA” menempel pada pintu rumah Pak Jaka. Pak Budi yang tidak tahu menahu tentang hal tersebut kemudian langsung berbalik badan dan pulang karena tidak ditemui satu orang pun dalam rumah Pak Jaka. Dalam hati Pak Budi merasa kasihan sekaligus jengkel. Mengapa Pak Jaka tak belajar dari masa lalu yang sudah – sudah.
           





0 comments:

Post a Comment