Sunday, 13 October 2019

Lukisan Kaligrafi – KH. Ahmad Mustofa Bisri

Standard
Lukisan Kaligrafi – KH. Ahmad Mustofa Bisri

KH. Ahmad Mustofa Bisri atau biasa dipanggil dengan Gus Mus merupakan sastrawan sekaligus seorang kyai yang mengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin, Leteh, Rembang. Beliau lahir pada tanggal 10 Agustus 1944 di Rembang, Jawa Tengah. Dalam kepenulisannya, buku – buku yang Gus Mus tulis merupakan buku yang tidak lepas dari aspek – aspek yang memuat tentang agama. Mungkin karena beliau sendiri juga merupakan seorang kyai, tak lepas dari kehidupan yang kental akan agama. Selain itu pendidikan tinggi yang di tempuh di Universitas Al Azhar dalam bidang studi Keislaman dan Bahasa Arab juga berkaitan dengan apa yang ditulisnya dalam sebuah karya sastra cerpen yang berjudul “Lukisan Kaligrafi” .
Dalam kutipan yang saya dapat dari web portal Gus Mus, KH. Bisri Mustofa penulis Tafsir al-ibris yang masyhur. Di zamannya termasuk ulama ‘nyeleneh’ karena bekerja sebagai penulis. Beliau dikenal kemampuannya menerjemahkan kitab-kitab klasik berbahasa Arab menjadi bacaan indah sekaligus mudah difahami.
Produktivitas menulis keluarga ulama ini, khususnya produktivitas kepenulisan KH. Bisri Mustofa dan KH. Misbach Mustofa (keduanya putra H. Zaenal Mustofa) baik dalam bahasa Indonesia, Jawa maupun bahasa Arab mendorong inovasi diadakannya pelatihan menulis dalam bahasa Indonesia dan menerjemahkan kitab dalam bahasa Indonesia bagi para santri Taman Pelajar Islam (1983) yang diprakarsai adik Gus Mus KH M. Adib Bisri. Pelatihan tersebut karena ketika itu kemampuan menulis dalam bahasa Indonesia rata-rata santri sangatlah minim.
Watak Gus Mus kreatif, bebas dan gemar membuat karya seni. Watak bebas namun
bertanggung jawab memang diterapkan pada semua keluarga dan keluarga KH. Bisri Mustofa. Sebuah prinsip yang diajarkan Kyai Bisri Mustofa adalah semua boleh bebas asal tidak meninggalkan kewajiban pokok. Dalam konteks ini yang dimaksud kewajiban pokok adalah melaksanakan ibadah wajib dan mengikuti pengajian.
            Gus Mus pernah belajar di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, beliau banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku sastra hasil penulis terkemuka nasional. Gus Mus juga sering jalan-jalan ke rumah-rumah seniman Jogja, salah satu rumah yang dikunjunginya adalah Affandi. Ia ingin sekali melihat bagaimana cara sang maestro melukis. Dari pengalamannya ini kemudian beliau mengambil spidol, pena atau cat air untuk membuat corat-coret. Di kemudian hari kebiasaan ini akhirnya menghasilkan karya - karya lukis yang berbobot, semisal lukisan kletet. Kebiasaannya dalam bidang seni juga terus berkembang ketika beliau kuliah di Mesir. Di sana beliau berdua bersama Gus Dur pernah mengelola sebuah majalah organisasi. Gus Mus, oleh Gus Dur diminta untuk mengisi ruang-ruang luang dengan puisi atau lukisan hasil karyanya.
Dalam cerita tersebut, Ustadz Bachrie merupakan tokoh utama dalam cerita. Tokoh  tersebut seperti menggambarkan penulisnya yaitu Gus Mus. Selain sebagai sastrawan, Gus Mus adalah juga sebagai seorang pelukis dalam kenyatannya di kehidupan nyata. Suatu ketika datanglah seorang kawan lamanya yang bernama Hardi yang sebenarnya tujuan utamanya hanya untuk silaturahmi dan berbincang – bincang mengenai kaligrafi. Akan tetapi, temannya yang bernama Hardi tersebut malah banyak membicarakan tentang seni melukis, bukan tentang kaligrafi. Apa yang dibahas mulai dari seni melukis naturalis, surealis, ekpresionis, dadais, dan lain sebagainya. Tentang teknik melukis, tentang komposisi, tentang perspektif, dan istilah - istilah lain yang Ustadz Bachrie tidak tahu. Akan tetapi, walaupun Ustadz Bachrie tidak tahu mengenai teknik melukis, perspektif, seni melukis, dan lain sebagainya dia mengetahui sedikit banyak mengenai aturan penulisan dalam kaligrafi yang tidak diketahui oleh Bachrie. Hal lain yang berkaitan dengan penulis aslinya yang selain pada kenyataannya dia seorang pelukis yaitu mengenai tokoh utama yang mengerti tentang ilmu kaligrafi arab sesuai dengan latar belakang pendidikan Gus Muh yang berasal dari lulusan studi Keislaman dan Bahasa arab di Universitas Al Azhar.
Hardi bukanlah teman biasa. Dia adalah seorang pelukis yang sudah sering melakukan pameran. Sayangnya, Hardi sama sekali tak mengenal aturan-aturan penulisan khath Arab. Tak tahu bedanya Naskh dan Tsuluts, Diewany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya. Dia asal “menggambar” tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertulisan Arab lainnya. Dia hanya tertarik dengan makna ayat yang ia ketahui lewat Terjemahan Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu ke dalam kertas atau kanvas. Bila ayat itu berbicara tentang penciptaan langit dan bumi, maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya dituliskan ayat yang bersangkutan. Tokoh Hardi tersebut terkesan sebagai seorang yang asal – asalan, tidak mengerti aturan karena menulis kaligrafi tanpa khat arab . Tokoh Hardi terkesan hanya mementingkan lukisannya indah tanpa makna tak apa, laku, kemudian yang penting dia mendapat uang dari hasil karyanya tersebut . Dia juga merupakan tokoh yang mempunyai sifat sok tau. Dalam kutipan “Namun, ternyata tamunya itu lebih banyak berbicara tentang aliran-aliran seni mulai dari naturalis, surealis, ekpresionis, dadais, dan entah apa lagi.Tentang teknik melukis, tentang komposisi, tentang perspektif, dan istilahistilah lain yang dia sendiri baru dengar kali itu. Sepertinya memang sengaja menguliahi Ustadz Bachri soal seni dan khususnya seni rupa.Hal ini merupakan sisi negatif dari seorang tokoh Hardi.
Setelah lama berbincang, Hardi berpamitan untuk pulang. Ustadz Bachrie pun mengantarkan tamunya tersebut sampai di depan pintu. Saat itulah yang membuat Ustadz Bachrie memulai pengalaman pertama kalinya untuk melukis. Dia diminta melukis oleh Hardi karena menurutnya, Ustadz Bachrie mempunyai pesona goresan yang berkarakter. Hal tersebut diketahuinya melalui tulisan rajah yang Ustadz Bachrie tulis pada sebuah kertas yang di tempel di atas pintu sebelum Hardi melewatinya. Selain goresan tulisan rajah yang berkarakter, tulisan tersebut juga terkesan unik. Warnanya yang aneh karena Ustadz Bachrie menggunakan kalam, tinta cina, dan minyak za’rafan untuk menuliskan rajah. Adanya tulisan rajah juga menimbulkan kesan mistis dalam cerpen.
Ustadz Bachrie merasa sedikit bingung karena tiba – tiba diminta untuk melukis oleh tamunya tersebut dan diminta untuk ikut dalam pameran lukisan yang akan diadakan tiga bulan lagi. Pada akhirnya dia mencoba untuk melukis kaligrafi yang sebelumnya belum pernah ia lakukan. Dia merasa tertantang dengan apa yang dikatakan oleh Hardi. Ketika memulai melukis untuk pertama kalinya, dia merasa sempat berputus asa.Hampir saja Ustadz Bachri putus asa.“ Akan tetapi dalam kutipan berikut “Tapi, istri dan anak-anaknya selalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang kedengaran di telinganya seperti menyindir nyalinya. Maka, dia pun bertekad, apa pun yang terjadi harus ada lukisannya yang jadi untuk diikutkan pameran.”, dia kembali bersemangat lagi untuk melukis dan rasa putus asanya pun pupus.
Ustadz Bachrie merupakan tokoh utama yang pemalu. Meskipun ada rasa malu dan rendah diri, dia datang juga pada waktu pembukaan pameran untuk menyenangkan kawannya Hardi, yang berkalikali menelepon memaksanya datang. Ternyata pameran di mana lukisan tunggalnya diikutsertakan-itu diselenggarakan di sebuah hotel berbintang.Wah, rasa malu dan rendah dirinya pun semakin memuncak”. Selain pemalu dia juga kurang percaya diri. Tidak seperti tokoh kedua yaitu Hardi. Pada kutipan “Dengan rasa malu dan rendah diri, dia datang juga pada waktu pembukaan pameran itu, karena pameran itu diselenggarakan di hotel berbintang, Ustadz Bachri menjadi kurang percaya diri,dengan kikuk dan sembunyi-sembunyi dia menyelinap diantara pengunjung. Dia sibuk mencari-cari “lukisan”-nya diantara lukisan - lukisan yang dipajang yang rata-rata tampak indah dan mempesona.” Kemudian dilanjutkan dengan kutipan “Apakah lukisanku juga tampak indah di sini?” pikirnya, “di mana gerangan lukisanku itu dipasang?
Tokoh watak anggota keluarga seperti istri Ustadz Bachri dan anak – anaknya seperti tidak memberikan semangat kepada Ustadz Bachrie secara langsung. Mereka malah berkomentar seperti menyindir akan tetapi hal tersebut justru yang membuat Ustadz Bachri termotivasi untuk tetap melukis. Mengenai hal tersebut terdapat pada kutipan Hampir saja Ustadz Bachri putus asa. Tapi, istri dan anak-anaknya selalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang kedengaran di telinganya seperti menyindir nyalinya. Maka, dia pun bertekad, apa pun yang terjadi harus ada lukisannya yang jadi untuk diikutkan pameran.
            Mengenai latar tempat yang digunakan dalam cerpen tersebut hanya rumah dan lokasi pameran. Sangat sederhana karena hanya menggunakan dua lokasi. Akan tetapi, latar tempat yang hanya dua lokasi tersebut tidak mempengaruhi keindahan cerita yang disajikan. Latar suasana yang akrab dan sedikit humor terlihat pada saat di rumah Ustadz Bachrie. Anggota keluarga mereka melempari beberapa pertanyaan kepada Ustadz Bachrie mengenai bagaimana bisa lukisannnya yang hanya bertuliskan alif tetapi dapat ditawar oleh kolektor dengan harga yang mahal. Anggota keluarganya juga terlihat antusias dan penasaran mendengarkan jawaban dari Ustadz Bachrie.
Lukisan yang difoto kemudian hasilnya hanya seperti kanvas kosong yang diberi pigura, menimbulkan keingintahuan dari sisi mistis spiritual. Sepeti dalam kutipan “Sampeyan menggunakan ilmu apa, sehingga lukisan sampeyan ketika difoto tidak jadi dan tampak hanya kanvas kosong yang diberi pigura?”.
Lukisan Kaligrafi merupakan sebuah cerpen yang memuat tentang tema sosial agama. Cerpen tersebut membuat saya kagum akan sebuah lukisan yang hanya bertuliskan huruf alif yang ternyata mempunyai makna yang terkesan mendalam. Tulisan yang hanya memuat huruf alif tersebut menarik seorang kolektor untuk membeli dengan harga yang cukup mahal yaitu 10.000 dolar. Padahal, lukisan tersebut dibuat oleh seseorang yang baru pertama kali membuat sebuah lukisan.
Alifku Tegak di Mana-mana merupakan judul lukisan yang dilukis oleh Ustaz Bachri. Huruf “alif” yang menjadi subjek lukisan tersebut mempunyai makna yang begitu mendalam.
Pertama, huruf “alif” yang rencananya untuk menuliskan lafal “Allah”. Di dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa Ustadz Bachri mengalami kesulitan ketika hendak menulis lafal tersebut. Akhirnya, ia memilih untuk tak melanjutkan rangkaian huruf lainnya dan membiarkan hanya ada sebuah “alif” pada kanvasnya. Ternyata, terdapat makna yang dalam di baliknya. Tentang “alif”, maka akan terlintas angka satu dalam benak. Satu adalah simbolisasi keesaan Allah Swt. sebagai rabb bagi manusia. Tidak ada yang berhak disembah selain-Nya. Ini adalah landasan tauhid bagi umat Islam.
Kedua, posisi “alif” yang berada di tengah-tengah lukisan. Gambaran ini mendeskripsikan bahwa “alif” menjadi pusat dari lukisan tersebut, Sama halnya dengan Allah yang menjadi pusat dari seluruh alam semesta ini.
Ketiga, lukisan “alif” yang tampak seperti kanvas kosong ketika dimuat di koran. Menurut Ustadz Bachri, tak terlihatnya huruf tersebut kemungkinan karena warna silver pada “alif” bersatu dengan latar warna putih. Kemudian memberi kesan huruf “alif” tak terlihat oleh mata walaupun pada hakikatnya ada. Begitu pula jika kita bicara tentang keberadaan Allah. Ia ada, namun manusia tak dapat melihatnya.
Keempat, judul lukisan yang dinamakan Alifku Tegak di Mana-mana. Judul yang diberikan Hardi kepada lukisan Ustaz Bachri ini bukan sekadar asal. Ketika menganggap konsep “alif” tadi sebagai “penggambaran” tentang Allah, maka kata “tegak di mana-mana” merupakan simbolisasi dari kekuasaan-Nya. Kekuasaan yang melingkupi apapun, siapapun, dan di manapun.
Cerpen karya sastra Lukisan Kaligrafi ini mengandung beberapa pesan moral yang penting untuk kehidupan kita sehari – hari. Pesan – pesan moral tersebut dapat mengingatkan kita saat kita lupa dan terlena akan dunia dan bagaimana kita harus menjalani kehidupan yang seharusnya sesuai dengan jalan yang benar. Pesan moral yang disampaikan dalam cerpen ini adalah sebagai berikut :
1.        Dengan Ilmu yang kita miliki rezeki akan mengikuti kita
Ustadz Bachrie adalah seorang yang banyak tahu mengenai aturan – aturan khat arab. Dengan pengetahuannya atau ilmunya tersebut dia dapat membuat seseorang yang bernama Hardi datang menemuinya untuk berbincang – bincang mengenai khat arab yang belum dia ketahui. Dia sangat antusias menyambut tamunya tersebut. Tanpa disangka – sangka, ternyata Hardi meminta Ustadz Bachrie untuk melukis padahal dia belum pernah melakukan hal tersebut sebelumnya. Akan tetapi, pada akhirnya lukisannya malah dibeli oleh seorang kolektor dengan harga yang mahal. Lukisan tersebut dinilai mempunyai makna yang berkesan mendalam. Ustadz Bachrie tahu tentang ilmu dalam menulis kaligrafi. Dia hanya menuliskan huruf alif akan tetapi dia tahu akan makna yang terkandung dalam lukisannya. Karena hal tersebut seorang kolektor tertarik untuk membeli. Lukisan tersebut dinilai unik dan bermakna mendalam.
2.      Jangan pernah putus asa dan terus berusaha
Untuk mencapai tujuan yang kita inginkan diharapkan kita tidak mudah untuk berputus asa. Agama Islam juga telah menyampaikan bahwa setiap umat muslim dilarang untuk berputus asa. Seperti pada Surat Az Zumar ayat 53 berikut Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalam mencapai sebuah keberhasilan terkadang kita harus menghabiskan stok kegagalan terlebih dahulu sebelum mendapatkan sebuah keberhasilan. Sikap kita yang pantang menyerah saat menemui beberapa kegagalan justru itu nanti yang tidak mendekatkan kita pada keberhasilan. Seperti misalnya penemu Thomas Alfa Edison, seandainya berhenti di percobaan kedua, mungkin kita sampai saat ini tidak akan pernah menikmati bola lampu yang kita gunakan pada saat sekarang ini. Dia terus mencoba di saat percobaan lampunya gagal menyala. Kemudian dia berhasil membuat lampu tersebut menyala pada saat percobaan ke sekian ribu dalam percobaannya. Walaupun Ustadz Bachrie sempat merasa disindir karena komentar – komentar yang disampaikan oleh istri dan anak – anaknya, niat Ustadz Bachrie untuk membuat sebuah lukisan tidak berhenti. Dia malah semakin semangat dan mempunyai gairah melukis kembali karena komentar – komentar tersebut.
3.      Lakukan sesuatu dengan ilmu, jangan asal – asalan
Sesuatu hal itu ada ilmunya dan perlu untuk dipelajari. Begitupun juga dengan seorang pelukis kaligrafi yang ada dalam cerpen tersebut. Seharusnya tokoh Hardi mengetahui aturan – aturan khat arab yang di gunakan dalam melukis kaligrafi. Dia tidak tahu bedanya Naskh dan Tsuluts, Diewany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi. Falsafahnya juga dia tidak tahu. Dia asal “menggambar” tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertulisan Arab lainnya. Dia hanya tertarik dengan makna ayat yang ia ketahui lewat Terjemahan Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu ke dalam kertas atau kanvas. Bila ayat itu berbicara tentang penciptaan langit dan bumi, maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya dituliskan ayat yang bersangkutan. Padahal menurut Ustadz Bachrie seorang pelukis kaligrafi seharusnya mengetahui hal tersebut agar tahu makna dari lukisan kaligrafi yang dibuat.

0 comments:

Post a Comment