Lukisan Kaligrafi – KH.
Ahmad Mustofa Bisri
KH. Ahmad Mustofa Bisri atau biasa dipanggil dengan
Gus Mus merupakan sastrawan sekaligus seorang kyai yang mengasuh Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin, Leteh, Rembang. Beliau lahir pada tanggal 10 Agustus 1944 di Rembang,
Jawa Tengah. Dalam kepenulisannya, buku – buku yang Gus Mus tulis merupakan
buku yang tidak lepas dari aspek – aspek yang memuat tentang agama. Mungkin
karena beliau sendiri juga merupakan seorang kyai, tak lepas dari kehidupan
yang kental akan agama. Selain itu pendidikan tinggi yang di tempuh di
Universitas Al Azhar dalam bidang studi
Keislaman dan Bahasa Arab juga berkaitan dengan apa yang ditulisnya dalam
sebuah karya sastra cerpen yang berjudul “Lukisan Kaligrafi” .
Dalam kutipan yang saya dapat dari web portal Gus Mus,
KH. Bisri Mustofa penulis Tafsir al-ibris yang masyhur. Di zamannya termasuk
ulama ‘nyeleneh’ karena bekerja
sebagai penulis. Beliau dikenal kemampuannya menerjemahkan kitab-kitab klasik
berbahasa Arab menjadi bacaan indah sekaligus mudah difahami.
Produktivitas menulis keluarga ulama ini, khususnya
produktivitas kepenulisan KH. Bisri Mustofa dan KH. Misbach Mustofa (keduanya
putra H. Zaenal Mustofa) baik dalam bahasa Indonesia, Jawa maupun bahasa Arab
mendorong inovasi diadakannya pelatihan menulis dalam bahasa Indonesia dan
menerjemahkan kitab dalam bahasa Indonesia bagi para santri Taman Pelajar Islam
(1983) yang diprakarsai adik Gus Mus KH M. Adib Bisri. Pelatihan tersebut
karena ketika itu kemampuan menulis dalam bahasa Indonesia rata-rata santri
sangatlah minim.
Watak
Gus Mus kreatif, bebas dan gemar membuat karya seni. Watak bebas namun
bertanggung
jawab memang diterapkan pada semua keluarga dan keluarga KH. Bisri Mustofa.
Sebuah prinsip yang diajarkan Kyai Bisri Mustofa adalah semua boleh bebas asal
tidak meninggalkan kewajiban pokok. Dalam konteks ini yang dimaksud kewajiban
pokok adalah melaksanakan ibadah wajib dan mengikuti pengajian.
Gus Mus pernah belajar di Pesantren
Krapyak, Yogyakarta, beliau banyak menghabiskan waktunya untuk membaca
buku-buku sastra hasil penulis terkemuka nasional. Gus Mus juga sering
jalan-jalan ke rumah-rumah seniman Jogja, salah satu rumah yang dikunjunginya
adalah Affandi. Ia ingin sekali melihat bagaimana cara sang maestro melukis.
Dari pengalamannya ini kemudian beliau mengambil spidol, pena atau cat air
untuk membuat corat-coret. Di kemudian hari kebiasaan ini akhirnya menghasilkan
karya - karya lukis yang berbobot, semisal lukisan kletet. Kebiasaannya dalam bidang
seni juga terus berkembang ketika beliau kuliah di Mesir. Di sana beliau berdua
bersama Gus Dur pernah mengelola sebuah majalah organisasi. Gus Mus, oleh Gus
Dur diminta untuk mengisi ruang-ruang luang dengan puisi atau lukisan hasil karyanya.
Dalam cerita tersebut, Ustadz Bachrie merupakan tokoh utama
dalam cerita. Tokoh tersebut seperti
menggambarkan penulisnya yaitu Gus Mus. Selain sebagai sastrawan, Gus Mus
adalah juga sebagai seorang pelukis dalam kenyatannya di kehidupan nyata. Suatu
ketika datanglah seorang kawan lamanya yang bernama Hardi yang sebenarnya
tujuan utamanya hanya untuk silaturahmi dan berbincang – bincang mengenai
kaligrafi. Akan tetapi, temannya yang bernama Hardi tersebut malah banyak
membicarakan tentang seni melukis, bukan tentang kaligrafi. Apa yang dibahas
mulai dari seni melukis naturalis, surealis, ekpresionis, dadais, dan lain
sebagainya. Tentang teknik melukis, tentang komposisi, tentang perspektif, dan
istilah - istilah lain yang Ustadz Bachrie tidak tahu. Akan tetapi, walaupun Ustadz
Bachrie tidak tahu mengenai teknik melukis, perspektif, seni melukis, dan lain
sebagainya dia mengetahui sedikit banyak mengenai aturan penulisan dalam
kaligrafi yang tidak diketahui oleh Bachrie. Hal lain yang berkaitan dengan
penulis aslinya yang selain pada kenyataannya dia seorang pelukis yaitu
mengenai tokoh utama yang mengerti tentang ilmu kaligrafi arab sesuai dengan
latar belakang pendidikan Gus Muh yang berasal dari lulusan studi Keislaman dan
Bahasa arab di Universitas Al Azhar.
Hardi bukanlah teman biasa.
Dia adalah seorang pelukis yang sudah sering melakukan pameran. Sayangnya,
Hardi sama sekali tak mengenal aturan-aturan penulisan khath Arab. Tak tahu
bedanya Naskh dan Tsuluts, Diewany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi. Apalagi
falsafahnya. Dia asal “menggambar” tulisan, mencontoh kitab Quran atau
kitab-kitab bertulisan Arab lainnya. Dia hanya tertarik dengan makna ayat yang
ia ketahui lewat Terjemahan Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu
ke dalam kertas atau kanvas. Bila ayat itu berbicara tentang penciptaan langit
dan bumi, maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya dituliskan ayat
yang bersangkutan. Tokoh Hardi tersebut terkesan sebagai seorang yang asal –
asalan, tidak mengerti aturan karena menulis kaligrafi tanpa khat arab . Tokoh Hardi
terkesan hanya mementingkan lukisannya indah tanpa makna tak apa, laku, kemudian
yang penting dia mendapat uang dari hasil karyanya tersebut . Dia juga
merupakan tokoh yang mempunyai sifat sok
tau. Dalam kutipan “Namun,
ternyata tamunya itu lebih banyak berbicara tentang aliran-aliran seni mulai
dari naturalis, surealis, ekpresionis, dadais, dan entah apa lagi.Tentang
teknik melukis, tentang komposisi, tentang perspektif, dan istilahistilah lain
yang dia sendiri baru dengar kali itu. Sepertinya memang sengaja menguliahi
Ustadz Bachri soal seni dan khususnya seni rupa.” Hal ini merupakan sisi
negatif dari seorang tokoh Hardi.
Setelah lama berbincang, Hardi berpamitan untuk pulang.
Ustadz Bachrie pun mengantarkan tamunya tersebut sampai di depan pintu. Saat
itulah yang membuat Ustadz Bachrie memulai pengalaman pertama kalinya untuk
melukis. Dia diminta melukis oleh Hardi karena menurutnya, Ustadz Bachrie
mempunyai pesona goresan yang berkarakter. Hal tersebut diketahuinya melalui
tulisan rajah yang Ustadz Bachrie tulis pada sebuah kertas yang di tempel di
atas pintu sebelum Hardi melewatinya. Selain goresan tulisan rajah yang
berkarakter, tulisan tersebut juga terkesan unik. Warnanya yang aneh karena
Ustadz Bachrie menggunakan kalam, tinta cina, dan minyak za’rafan untuk
menuliskan rajah. Adanya tulisan rajah juga menimbulkan kesan mistis dalam cerpen.
Ustadz Bachrie merasa
sedikit bingung karena tiba – tiba diminta untuk melukis oleh tamunya tersebut
dan diminta untuk ikut dalam pameran lukisan yang akan diadakan tiga bulan
lagi. Pada akhirnya dia mencoba untuk melukis kaligrafi yang sebelumnya belum
pernah ia lakukan. Dia merasa tertantang dengan apa yang dikatakan oleh Hardi. Ketika
memulai melukis untuk pertama kalinya, dia merasa sempat berputus asa. “Hampir saja Ustadz Bachri putus asa.“ Akan tetapi dalam kutipan berikut “Tapi, istri dan
anak-anaknya selalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar
yang kedengaran di telinganya seperti menyindir nyalinya. Maka, dia pun bertekad,
apa pun yang terjadi harus ada lukisannya yang jadi untuk diikutkan pameran.”, dia kembali bersemangat lagi untuk melukis dan rasa
putus asanya pun pupus.
Ustadz Bachrie merupakan
tokoh utama yang pemalu. “Meskipun ada rasa malu
dan rendah diri, dia datang juga pada waktu pembukaan pameran untuk
menyenangkan kawannya Hardi, yang berkalikali menelepon memaksanya datang.
Ternyata pameran di mana lukisan tunggalnya diikutsertakan-itu diselenggarakan
di sebuah hotel berbintang.Wah, rasa malu dan rendah dirinya pun semakin
memuncak”. Selain pemalu dia juga kurang percaya diri. Tidak
seperti tokoh kedua yaitu Hardi. Pada kutipan “Dengan rasa malu dan rendah diri, dia datang juga pada waktu pembukaan
pameran itu, karena pameran itu diselenggarakan di hotel berbintang, Ustadz
Bachri menjadi kurang percaya diri,dengan kikuk dan sembunyi-sembunyi dia
menyelinap diantara pengunjung. Dia sibuk mencari-cari “lukisan”-nya diantara
lukisan - lukisan yang dipajang yang rata-rata tampak indah dan mempesona.”
Kemudian dilanjutkan dengan kutipan “Apakah lukisanku juga tampak indah di sini?”
pikirnya, “di mana gerangan lukisanku itu dipasang?”
Tokoh watak anggota keluarga seperti istri Ustadz Bachri dan
anak – anaknya seperti tidak memberikan semangat kepada Ustadz Bachrie secara
langsung. Mereka malah berkomentar seperti menyindir akan tetapi hal tersebut justru
yang membuat Ustadz Bachri termotivasi untuk tetap melukis. Mengenai hal
tersebut terdapat pada kutipan “Hampir saja Ustadz
Bachri putus asa. Tapi, istri dan anak-anaknya selalu melemparkan
pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang kedengaran di telinganya
seperti menyindir nyalinya. Maka, dia pun bertekad, apa pun yang terjadi harus
ada lukisannya yang jadi untuk diikutkan pameran.”
Mengenai
latar tempat yang digunakan dalam cerpen tersebut hanya rumah dan lokasi
pameran. Sangat sederhana karena hanya menggunakan dua lokasi. Akan tetapi,
latar tempat yang hanya dua lokasi tersebut tidak mempengaruhi keindahan cerita
yang disajikan. Latar suasana yang akrab dan sedikit humor terlihat pada saat
di rumah Ustadz Bachrie. Anggota keluarga mereka melempari beberapa pertanyaan
kepada Ustadz Bachrie mengenai bagaimana bisa lukisannnya yang hanya
bertuliskan alif tetapi dapat ditawar oleh kolektor dengan harga yang mahal.
Anggota keluarganya juga terlihat antusias dan penasaran mendengarkan jawaban
dari Ustadz Bachrie.
Lukisan yang difoto kemudian hasilnya hanya seperti
kanvas kosong yang diberi pigura, menimbulkan keingintahuan dari sisi mistis
spiritual. Sepeti dalam kutipan “Sampeyan
menggunakan ilmu apa, sehingga lukisan sampeyan ketika difoto tidak jadi dan
tampak hanya kanvas kosong yang diberi pigura?”.
Lukisan Kaligrafi merupakan sebuah cerpen yang memuat
tentang tema sosial agama. Cerpen tersebut membuat saya kagum akan sebuah
lukisan yang hanya bertuliskan huruf alif yang ternyata mempunyai makna yang
terkesan mendalam. Tulisan yang hanya memuat huruf alif tersebut menarik
seorang kolektor untuk membeli dengan harga yang cukup mahal yaitu 10.000
dolar. Padahal, lukisan tersebut dibuat oleh seseorang yang baru pertama kali
membuat sebuah lukisan.
Alifku Tegak di Mana-mana merupakan judul lukisan yang
dilukis oleh Ustaz Bachri. Huruf “alif” yang menjadi subjek lukisan tersebut
mempunyai makna yang begitu mendalam.
Pertama, huruf “alif” yang rencananya untuk menuliskan
lafal “Allah”. Di dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa Ustadz Bachri
mengalami kesulitan ketika hendak menulis lafal tersebut. Akhirnya, ia memilih
untuk tak melanjutkan rangkaian huruf lainnya dan membiarkan hanya ada sebuah
“alif” pada kanvasnya. Ternyata, terdapat makna yang dalam di baliknya. Tentang
“alif”, maka akan terlintas angka satu dalam benak. Satu adalah simbolisasi
keesaan Allah Swt. sebagai rabb bagi manusia. Tidak ada yang berhak disembah
selain-Nya. Ini adalah landasan tauhid bagi umat Islam.
Kedua, posisi “alif” yang berada di tengah-tengah
lukisan. Gambaran ini mendeskripsikan bahwa “alif” menjadi pusat dari lukisan
tersebut, Sama halnya dengan Allah yang menjadi pusat dari seluruh alam semesta
ini.
Ketiga, lukisan “alif” yang tampak seperti kanvas
kosong ketika dimuat di koran. Menurut Ustadz Bachri, tak terlihatnya huruf
tersebut kemungkinan karena warna silver pada “alif” bersatu dengan latar warna
putih. Kemudian memberi kesan huruf “alif” tak terlihat oleh mata walaupun pada
hakikatnya ada. Begitu pula jika kita bicara tentang keberadaan Allah. Ia ada,
namun manusia tak dapat melihatnya.
Keempat, judul lukisan yang dinamakan Alifku Tegak di
Mana-mana. Judul yang diberikan Hardi kepada lukisan Ustaz Bachri ini bukan
sekadar asal. Ketika menganggap konsep “alif” tadi sebagai “penggambaran”
tentang Allah, maka kata “tegak di mana-mana” merupakan simbolisasi dari
kekuasaan-Nya. Kekuasaan yang melingkupi apapun, siapapun, dan di manapun.
Cerpen karya sastra Lukisan Kaligrafi ini mengandung
beberapa pesan moral yang penting untuk kehidupan kita sehari – hari. Pesan –
pesan moral tersebut dapat mengingatkan kita saat kita lupa dan terlena akan
dunia dan bagaimana kita harus menjalani kehidupan yang seharusnya sesuai
dengan jalan yang benar. Pesan moral yang disampaikan dalam cerpen ini adalah
sebagai berikut :
1.
Dengan Ilmu yang kita miliki
rezeki akan mengikuti kita
Ustadz Bachrie adalah seorang yang banyak tahu mengenai
aturan – aturan khat arab. Dengan pengetahuannya atau ilmunya tersebut dia
dapat membuat seseorang yang bernama Hardi datang menemuinya untuk berbincang –
bincang mengenai khat arab yang belum dia ketahui. Dia sangat antusias
menyambut tamunya tersebut. Tanpa disangka – sangka, ternyata Hardi meminta
Ustadz Bachrie untuk melukis padahal dia belum pernah melakukan hal tersebut
sebelumnya. Akan tetapi, pada akhirnya lukisannya malah dibeli oleh seorang
kolektor dengan harga yang mahal. Lukisan tersebut dinilai mempunyai makna yang
berkesan mendalam. Ustadz Bachrie tahu tentang ilmu dalam menulis kaligrafi.
Dia hanya menuliskan huruf alif akan tetapi dia tahu akan makna yang terkandung
dalam lukisannya. Karena hal tersebut seorang kolektor tertarik untuk membeli.
Lukisan tersebut dinilai unik dan bermakna mendalam.
2. Jangan pernah putus asa dan terus berusaha
Untuk mencapai tujuan yang
kita inginkan diharapkan kita tidak mudah untuk berputus asa. Agama Islam juga
telah menyampaikan bahwa setiap umat muslim dilarang untuk berputus asa.
Seperti pada Surat Az Zumar ayat 53 berikut “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas
terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dalam
mencapai sebuah keberhasilan terkadang kita harus menghabiskan stok kegagalan
terlebih dahulu sebelum
mendapatkan sebuah keberhasilan. Sikap kita yang pantang menyerah saat menemui
beberapa kegagalan justru itu nanti yang tidak mendekatkan kita pada
keberhasilan. Seperti misalnya penemu Thomas Alfa Edison, seandainya berhenti di percobaan kedua,
mungkin kita sampai saat ini tidak akan pernah menikmati bola lampu yang kita
gunakan pada saat sekarang ini. Dia terus mencoba di saat percobaan lampunya
gagal menyala. Kemudian dia berhasil membuat lampu tersebut menyala pada saat
percobaan ke sekian ribu dalam percobaannya. Walaupun
Ustadz Bachrie sempat merasa
disindir karena komentar – komentar yang disampaikan oleh istri dan anak –
anaknya, niat Ustadz Bachrie untuk membuat sebuah lukisan tidak berhenti. Dia
malah semakin semangat dan mempunyai gairah melukis kembali karena komentar –
komentar tersebut.
3. Lakukan sesuatu dengan ilmu, jangan asal – asalan
Sesuatu hal itu ada ilmunya dan perlu untuk dipelajari. Begitupun juga
dengan seorang pelukis kaligrafi yang ada dalam cerpen tersebut. Seharusnya
tokoh Hardi mengetahui aturan – aturan khat arab yang di gunakan dalam melukis
kaligrafi. Dia tidak tahu bedanya Naskh dan Tsuluts, Diewany dan Faarisy, atau
Riq’ah dan Kufi. Falsafahnya juga dia tidak tahu. Dia asal “menggambar”
tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertulisan Arab lainnya. Dia
hanya tertarik dengan makna ayat yang ia ketahui lewat Terjemahan Quran
Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu ke dalam kertas atau kanvas. Bila
ayat itu berbicara tentang penciptaan langit dan bumi, maka dia pun melukis
pemandangan, lalu di atasnya dituliskan ayat yang bersangkutan. Padahal menurut
Ustadz Bachrie seorang pelukis kaligrafi seharusnya mengetahui hal tersebut
agar tahu makna dari lukisan kaligrafi yang dibuat.
0 comments:
Post a Comment