Sore itu aku duduk pada sebuah kursi kayu yang mulai keropos di beberapa bagian kaki penyangganya. Kursi tersebut mungkin telah ada sebelum aku lahir karena memang sudah terlihat kusam dan sudah tidak kokoh lagi. Aku duduk di dekat jendela sambil melihat ke luar memandang perkebunan teh yang kala itu tersinari oleh cahaya matahari yang semakin meredup. Udara panas berganti menjadi angin semilir penuh kedamaian. Saat itu burung - burung yang tadinya mencari makan di balik bukit seberang sana pun kembali ke rumah mereka masing - masing. Bersama - sama burung itu terbang membentuk formasi layaknya pesawat udara yang sedang beratraksi. Seakan menunjukan pada semua makhluk yang ada di bawahnya bahwa betapa eratnya kebersamaan dan kekompakan mereka. Tak ada satu pun burung - burung itu yang tertinggal. Mereka bersama - sama terbang menuju belakang rumah ku. Mungkin di sanalah mereka tinggal.
Tak terasa, tiba - tiba aku tersadar bahwa langit telah beranjak menuju kegelapan. Suara adzan pun mulai berkumandang bersahutan. Tibalah ibadah solat maghrib. Aku menutup jendela yang masih terbuka saat itu. Kemudian aku melangkah menuju masjid. Masjid itu terletak di tengah - tengah perkebunan teh yang berjarak sekitar 150 meter dari rumah. Sebenarnya ada cerita mengenai masjid tersebut.
Dahulu, tempat berdirinya masjid itu adalah bekas markas bawah tanah milik tentara Indonesia. Di markas bawah tanah itulah banyak tentara Indonesia yang bersembunyi dari tentara Belanda. Markas tersebut dahulunya nyaris di bom oleh tentara Belanda karena saat itu tentara Belanda mengetahui bahwa tempat itu adalah markas tentara Indonesia. Akan tetapi, saat tentara Belanda akan menyerang markas tersebut tentara Indonesia sudah mengetahui hal tersebut jauh - jauh hari. Maka saat itu juga, tentara Indonesia mengosongkan markas tersebut dan pergi untuk sementara waktu. Saat tentara Belanda tiba di markas tersebut, ada seorang bapak muda berusia sekitar 35 tahun yang sedang berada di sekitar markas tersebut. Bapak itu kebetulan bisa mengerti dan berbicara dengan bahasa mereka. Saat itu juga, Bapak tersebut menanyakan apa tujuan para tentara Belanda tersebut datang. Tentara Belanda mengemukakan tujuan mereka. Mereka datang ingin membakar markas tersebut karena tiga hari yang lalu, mereka mendapatkan kabar bahwa di tempat tersebut terdapat markas para tentara Indonesia. Dengan pembicaraan yang tenang, santai, dan sedikit mengambil hati tentara Belanda bapak tersebut mengatakan bahwa di sini bukan markas tentara Indonesia. Bapak tersebut mempersilakan tentara Belanda untuk mengecek ke dalam tempat itu apakah benar - benar ada tentara Indonesia di dalamnya untuk meyakinkan para tentara Belanda.
Memang di dalam markas tersebut tidak terdapat tentara Indonesia satupun. Akan tetapi, mereka menemukan sabuk tentara Indonesia yang tertinggal di dalam markas tersebut. Salah satu tentara Belanda pun keluar dari dalam markas tersebut dengan membawa sabuk tentara Indonesia yang tertinggal. Lalu, bapak itu mengatakan bahwa sabuk itu adalah sabuk yang selama ini beliau cari. Sabuk tersebut biasa digunakan untuk memecut kerbau saat membajak sawah di bawah sana. Bapak itu sambil mengacungkan jari menunjukan dimana beliau sering membajak sawah. Karena hanya dengan sabuk itu kerbau mau jalan untuk membajak sawah. Tempat bapak itu tinggal dan sawah yang sering dibajak cukuplah jauh. Bapak itu bercerita kepada tentara Belanda bahwa rumahnya terletak di ujung bukit ini. Padahal, di atas markas tersebut berdiri rumah kecil yang sebenarnya tempat tersebut adalah tempat dimana bapak tersebut tinggal selain para tentara Indonesia yang bersembunyi di bawah tanah rumah bapak itu. "Kemarin saat beristirahat, di tempat itu sabuk saya tertinggal dan baru hari ini saya mencari" kata bapak tersebut. Tadinya, tentara Belanda tidak percaya dengan apa yang dikatakan bapak tersebut. Akan tetapi, karena kepandaian bapak tersebut memberikan alasan - alasan yang masuk akal dan dapat di terima oleh tentara Belanda. Akhirnya , tentara Belanda pun percaya dan pergi meninggalkan tempat tersebut serta mengurungkan niat untuk membakar markas bawah tanah itu. Bapak itu pun merasa lega karena tentara Belanda tidak membakar markas bawah tanah tempat persembunyian pada tentara Indonesia itu. Kalau saja tempat itu dibakar, maka ikut terbakarlah rumah dan keluarga yang ada di atas markas bawah tanah itu.
Setelah Indonesia merdeka, tempat itu tidak lagi dijadikan markas oleh tentara Indonesia. Bapak itu juga telah pindah ke kota dan mewaqafkan tanah di atas markas tentara Indonesia itu. Maka dari itu, masyarakat di sini berinisiatif untuk membangun masjid di atas tanah bersejarah tersebut. Di masjid tersebut adalah rumah Allah tempat umat Islam memanjatkan doa dan beribadah. Di sana juga merupakan sarana untuk mensyiarkan agama, melakukan hal - hal positif seperti mengaji, tadarus Al Qur'an, dan juga berdakwah. Sekarang, masjid yang dulu hanya bertembok anyaman bambu itu kini sudah berdiri megah di tengah - tengah perkebunan teh. Semoga masjid tersebut kian menarik perhatian orang - orang untuk datang beribadah di masjid itu. Masjid yang semakin sejuk di tengah perkebunan teh dengan orang - orang yang berdatangan menyejukkan mata.
Dahulu, tempat berdirinya masjid itu adalah bekas markas bawah tanah milik tentara Indonesia. Di markas bawah tanah itulah banyak tentara Indonesia yang bersembunyi dari tentara Belanda. Markas tersebut dahulunya nyaris di bom oleh tentara Belanda karena saat itu tentara Belanda mengetahui bahwa tempat itu adalah markas tentara Indonesia. Akan tetapi, saat tentara Belanda akan menyerang markas tersebut tentara Indonesia sudah mengetahui hal tersebut jauh - jauh hari. Maka saat itu juga, tentara Indonesia mengosongkan markas tersebut dan pergi untuk sementara waktu. Saat tentara Belanda tiba di markas tersebut, ada seorang bapak muda berusia sekitar 35 tahun yang sedang berada di sekitar markas tersebut. Bapak itu kebetulan bisa mengerti dan berbicara dengan bahasa mereka. Saat itu juga, Bapak tersebut menanyakan apa tujuan para tentara Belanda tersebut datang. Tentara Belanda mengemukakan tujuan mereka. Mereka datang ingin membakar markas tersebut karena tiga hari yang lalu, mereka mendapatkan kabar bahwa di tempat tersebut terdapat markas para tentara Indonesia. Dengan pembicaraan yang tenang, santai, dan sedikit mengambil hati tentara Belanda bapak tersebut mengatakan bahwa di sini bukan markas tentara Indonesia. Bapak tersebut mempersilakan tentara Belanda untuk mengecek ke dalam tempat itu apakah benar - benar ada tentara Indonesia di dalamnya untuk meyakinkan para tentara Belanda.
Memang di dalam markas tersebut tidak terdapat tentara Indonesia satupun. Akan tetapi, mereka menemukan sabuk tentara Indonesia yang tertinggal di dalam markas tersebut. Salah satu tentara Belanda pun keluar dari dalam markas tersebut dengan membawa sabuk tentara Indonesia yang tertinggal. Lalu, bapak itu mengatakan bahwa sabuk itu adalah sabuk yang selama ini beliau cari. Sabuk tersebut biasa digunakan untuk memecut kerbau saat membajak sawah di bawah sana. Bapak itu sambil mengacungkan jari menunjukan dimana beliau sering membajak sawah. Karena hanya dengan sabuk itu kerbau mau jalan untuk membajak sawah. Tempat bapak itu tinggal dan sawah yang sering dibajak cukuplah jauh. Bapak itu bercerita kepada tentara Belanda bahwa rumahnya terletak di ujung bukit ini. Padahal, di atas markas tersebut berdiri rumah kecil yang sebenarnya tempat tersebut adalah tempat dimana bapak tersebut tinggal selain para tentara Indonesia yang bersembunyi di bawah tanah rumah bapak itu. "Kemarin saat beristirahat, di tempat itu sabuk saya tertinggal dan baru hari ini saya mencari" kata bapak tersebut. Tadinya, tentara Belanda tidak percaya dengan apa yang dikatakan bapak tersebut. Akan tetapi, karena kepandaian bapak tersebut memberikan alasan - alasan yang masuk akal dan dapat di terima oleh tentara Belanda. Akhirnya , tentara Belanda pun percaya dan pergi meninggalkan tempat tersebut serta mengurungkan niat untuk membakar markas bawah tanah itu. Bapak itu pun merasa lega karena tentara Belanda tidak membakar markas bawah tanah tempat persembunyian pada tentara Indonesia itu. Kalau saja tempat itu dibakar, maka ikut terbakarlah rumah dan keluarga yang ada di atas markas bawah tanah itu.
Setelah Indonesia merdeka, tempat itu tidak lagi dijadikan markas oleh tentara Indonesia. Bapak itu juga telah pindah ke kota dan mewaqafkan tanah di atas markas tentara Indonesia itu. Maka dari itu, masyarakat di sini berinisiatif untuk membangun masjid di atas tanah bersejarah tersebut. Di masjid tersebut adalah rumah Allah tempat umat Islam memanjatkan doa dan beribadah. Di sana juga merupakan sarana untuk mensyiarkan agama, melakukan hal - hal positif seperti mengaji, tadarus Al Qur'an, dan juga berdakwah. Sekarang, masjid yang dulu hanya bertembok anyaman bambu itu kini sudah berdiri megah di tengah - tengah perkebunan teh. Semoga masjid tersebut kian menarik perhatian orang - orang untuk datang beribadah di masjid itu. Masjid yang semakin sejuk di tengah perkebunan teh dengan orang - orang yang berdatangan menyejukkan mata.
~Hanya Fiksi Belaka~
0 comments:
Post a Comment